MAHA PARINIBBANA SUTTA ( I )
Sumber :
Maha Parinibbana
Sutta,
Editor :
Pandita Pannasiri,
Disempurnakan
: Cornelis Wowor, MA.,
Diterbitkan
oleh CV. Lovina Indah, Jakarta 1989
Demikianlah
yang telah kami dengar.
1. Ketika Sang Buddha berdiam di atas puncak
Gijjhakuta, Rajagaha, raja Magadha Ajatasattu, putra ratu Viheda berkeinginan
untuk berperang melawan suku Vajji. Raja Ajatasattu berpikir : "Suku Vajji
yang berdaulat dan jaya akan aku musnahkan, celakakan dan basmi
seluruhnya."
2. Kemudian raja Ajatasattu menitahkan patihnya Brahmana Vassakara sambil bersabda : "Brahmana, pergilah menghadap Sang Buddha. Sampaikanlah salam hormat dan sujudku kepada Beliau. Sampaikan pula harapanku, semoga Beliau selalu dalam keadaan sehat walafiat, selamat sejahtera dan selalu bahagia. Selanjutnya sampaikan pula kepada Beliau, bahwa aku raja Ajatasattu dari Magadha, hendak berperang melawan suku Vajji. Suku Vajji yang berdulat dan jaya itu, akan aku musnahkan, celakakan dan basmi seluruhnya.
Setelah mendengar rencanaku ini, apapun jawaban Sang Buddha, simpanlah itu dalam ingatanmu dengan sebaik-baiknya, dan kemudian beritahukanlah kepadaku. Aku yakin Sang Tathagata akan menyampaikan pendapatnya dengan jujur, karena Sang Buddha tidak pernah berbicara yang tidak jujur."
3. Setelah mendengar sabda dan pesan raja Ajatasattu Patih Vassakara menyatakan persetujuannya sambil berdatang sembah : "Baik, Tuanku, segala titah kami junjung tinggi di atas kepala kami." Kemudian Brahmana Vassakara menitahkan untuk menyiapkan keretanya yang indah dan kereta-kereta lainnya bagi para pengiringnya. Setelah semuanya siap, berangkatlah Patih Brahmana Vassakara dengan diiringi oleh para pengiringnya menuju Gijjhakuta, untuk menghadap kepada Sang Buddha. Sesampai di suatu tempat di atas bukit itu, perjalanan tidak dapat di tempuh dengan naik kereta, mereka terpaksa meneruskan perjalanan dengan berjalan.
Setelah Patih Brahmana Vassakara sampai di hadapan Sang Buddha, beliau lalu bersujud kepada Sang Buddha, setelah itu Patih Brahmana Vassakara duduk di salah satu sisi Sang Buddha. Kemudian dengan suara yang lemah lembut, Patih Brahmana Vassakara berkata : "Sang Gotama yang mulia, saya datang menghadap Yang Mulia ialah untuk menyampaikan pesan raja Ajatasattu dari Magadha. Baginda raja Ajatasattu menghaturkan hormat dan sujud ke hadapan Bhante, dan memujikan semoga Bhante selalu selamat, dalam keadaan sehat walafiat dan selamat sejahtera serta selalu berbahagia. Baginda juga memerintahkan kepada saya, untuk menyampaikan pesan baginda raja Ajattasattu yang ingin mengadakan peperangan dengan suku Vajji yang berdaulat dan jaya itu. Baginda hendak memusnahkan, mencelakakan dan akan membasmi mereka seluruhnya."
SYARAT-SYARAT KESEJAHTERAAN SUATU BANGSA
4. Pada saat itu Ananda berdiri di belakang Sang Buddha sedang mengipasi Beliau. Kemudian Sang Buddha bersabda kepada Ananda : "Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji itu sering berkumpul untuk mengadakan musyawarah, dan musyawarah mereka apakah berlangsung dengan lancar serta selalu dicapai kata mufakat?"
"Bhante, kami telah mendengar bahwa memang demikianlah adanya."
"Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita harapkan, bukan kemundurannya."
"Pernahkah kau mendengar, apakah suku Vajji itu dalam permusyawaratan-permusyawaratannya selalu menganjurkan perdamaian? dan apakah di dalam menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi, mereka selalu dapat menyelesaikan dengan damai?"
"Bhante, memang demikianlah yang telah kami dengar."
"Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang harus kita harapkan, bukan kemundurannya."
"Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji telah menetapkan adanya hukum-hukum yang baru, dan telah merubah tradisi mereka yang lama atau mereka meneruskan pelaksanaan peraturan-peraturan lama yang sesuai dengan dhamma?"
"Bhante, demikianlah yang telah kami dengar."
"Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji selalu menunjukkan rasa hormat dan bakti serta menghargai kepada orang yang lebih tua dan menganggap sangat berharga dan bermanfaat untuk selalu mengindahkan mereka?"
"Bhante, demikianlah yang telah kami dengar."
"Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita harapkan, bukan kemundurannya."
"Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji melarang dengan keras adanya penculikan atau penahanan wanita-wanita atau gadis-gadis dari keluarga baik-baik?"
"Bhante, demikianlah yang telah kami dengar."
"Kalau
demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita
harapkan, bukan kemundurannya."
"Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji sangat menghormati dan menghargai tempat-tempat suci mereka dan mereka dengan taat melaksanakan puja bhakti, baik di tempat suci yang ada di kota maupun yang ada di luar kota?"
"Bhante,
demikianlah yang telah kami dengar."
"Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita harapkan, bukan kemundurannya."
"Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji melindungi serta menjaga orang-orang suci itu dengan sepatutnya. Bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan, diusahakan supaya memiliki pekerjaan, hidup dengan aman dan damai?"
"Demikianlah
yang telah kami dengar, Bhante."
"Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita harapkan, bukan kemundurannya."
5. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Brahmana Vassakara : "Pada suatu ketika, kami berdiam di Vesali, di cetiya Sarandada. Di cetiya itu kami telah mengajarkan kepada suku Vajji mengenai tujuh syarat untuk membina kesejahteraan suatu bangsa. Selama syarat itu dapat dihayati dan diamalkan dengan baik, maka perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya kita harapkan, bukan kemundurannya."
Setelah Sang Buddha berkata demikian, Brahmana Vassakara lalu bersujud kepada Sang Buddha dan berkata : "Wahai Gotama, jika suku Vajji benar-benar dapat menghayati dan mengamalkan salah satu atau lebih dari ke tujuh syarat tersebut untuk dapat mencapai kesejahteraan, maka perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang seharusnya diharapkan, bukan kemundurannya. Lebih-lebih lagi kalau mereka dapat menghayati dan mengamalkan ke tujuh syarat-syarat tersebut. Jika demikian, suku Vajji tidak dapat ditaklukkan oleh raja Magadha; juga walaupun terjadi peperangan yang dilalukan oleh raja Ajatasattu dari Magadha. Kecuali, dengan diplomasi atau memecahkan persatuan mereka. Baiklah Gotama, perkenankanlah kami mohon diri, karena masih banyak tugas yang harus kami laksanakan."
"Silakan, Brahmana," jawab Sang Buddha.
Brahmana
Vassakara bangkit dari duduknya, dan dengan hati yang gembira ia menyatakan
setuju dengan pendapat Sang Buddha. Kemudian Brahmana Vassakara setelah
menghormat kepada Sang Buddha, lalu mohon diri.
KESEJAHTERAAN
PARA BHIKKHU
6. Setelah Brahmana Vassakara meninggalkan Sang Buddha, lalu Sang Buddha berkata kepada Ananda ; "Ananda, segera kumpulkan para bhikkhu yang ada di Rajagaha di ruangan Dhammasala ini."
"Baiklah, Bhante," jawab Ananda. Setelah itu Ananda melaksanakan perintah Sang Buddha. Setalah para bhikkhu yang ada di Rajagaha berkumpul semua, Ananda menghadap Sang Buddha.
"Bhante, para bhikkhu telah berkumpul. Kami persilakan Bhante untuk memberikan pembinaan dan bimbingan kepada mereka."
Setelah itu, Sang Buddha menuju ke ruangan Dhammasala dan duduk di tempat duduk yang telah disediakan. Sang Buddha kemudian berkata kepada para bhikkhu : "Dengarlah dan perhatikan dengan sekasama, para bhikkhu tentang tujuh syarat yang harus dihayati dan diamalkan untuk mendapat kesejahteraan hidup."
"Silakan, Bhante," jawab para bhikkhu.
"Para bhikkhu, kami selalu mengharapkan perkembangan dan kemajuan para bhikkhu, bukan kemundurannya. Perkembangan kemajuan akan tercapai, jika kalian dapat menghayati dan mengamalkan ketujuh syarat untuk mencapai kesejahteraan sebagai berikut :
• Hendaknya kalian, para bhikkhu yang telah berjumlah besar ini terus berkumpul dan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
• Di dalam pertemuan-pertemuan, para bhikkhu hendaknya selalu menganjurkan persatuan dan perdamaian.
• Hendaknya para bhikkhu tidak menetapkan aturan-aturan baru dan tidak menghapuskan yang telah ada. Hendaknya mereka berbuat sesuai dengan peraturan disiplin(vinaya) yang telah ada.
• Hendaknya mereka selamanya menghormati dan menghargai dan berbakti kepada para bhikkhu yang lebih tua, terhadap yang lebih lama ada dan berpengalaman, para pendiri dan para pemimpin dan menganggap hal ini sebagai suatu perbuatan yang sangat berharga dan bermanfaat kalau memuliakan mereka.
• Hendaknya mereka jangan sampai terikat dengan pamrih hal mana dapat membawa mereka untuk tumimbal lahir kembali.
• Hendaknya mereka menyenangi hutan sebagai tempat tinggal yang tenang.
• Hendaknya mereka mengembangkan pikiran bahwa orang-orang baik di antara para teman akan mendatangi dan mereka yang akan datang akan hidup dengan tenang.
Bilamana tujuh syarat ini telah diamalkan, maka kesejahteraan akan dicapai oleh bhikkhu, lebih-lebih jika para bhikkhu benar-benar telah menghayati dan memahaminya, maka perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang kita harapkan bukan kemundurannya.
7. Tujuh syarat yang lebih lanjut untuk dapat mencapai kesejahteraan, akan kami jelaskan, perhatikan dan dengarkan dengan seksama.
"Baiklah Bhante," jawab para bhikkhu.
"Perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang kita harapkan, bukan kemundurannya selama para bhikkhu :
·
Tidak senang dalam kegiatan
keduaniawian,
·
Tidak menyukai percakapan yang tak
berguna,
·
Tidak malas dan senang tidur
·
Tidak melibatkan diri pada masalah
sosial (pesta, politik dan sebagainya),
·
Tidak terikat pada sang aku dan tidak
berpamrih yang jahat,
·
Tidak bersahabat dengan orang yang
jahat,
·
Tidak berhenti berusaha atau berjuang
karena sikap mental yang terlalu memperhitungkan hasil dan
keuntungan-keuntungan yang tidak berarti.
Selama para bhikkhu melaksanakan ketujuh syarat ini dan para bhikkhu benar-benar memahaminya, maka perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang kami harapkan, bukan kemundurannya.
8. "Tujuh syarat selanjutnya yang dapat mengantarkan kalian memasuki kehidupan yang sejahtera, akan kami utarakan. Dengarkanlah dan perhatikanlah dengan seksama apa yang akan kuucapkan."
"Silakan, Bhante," jawab para bhikkhu.
TUJUH SIFAT BAIK
"Perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang kami harapkan, bukan kemundurannya. Para bhikkhu akan selamanya mengalami perkembangan dan kemajuan bilamana para bhikkhu memiliki :
• keyakinan (saddha)
• rasa
malu melakukan perbuatan salah (hiri)
• takut
akan akibat perbuatan salah (ottapa)
• banyak
pengetahuan (bahussuta)
• keteguhan
bathin (araddha)
• perhatian
yang kuat (upatthiha-sati)
• kebijaksanaan
(panna)
Ketujuh
syarat yang menuju kesejahteraan ini, bilamana para bhikkhu dapat memahami dan
menghayati serta mengamalkannya, maka perkembangan dan kemajuan mereka yang
kita harapkan, bukan kemundurannya.
9. Ketujuh syarat selanjutnya yang menuju kesejahteraan, akan kami utarakan kepada kalian. Dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama."
"Silakan, Bhante," jawab para bhikkhu.
TUJUH FAKTOR PENERANGAN SEJATI
"Perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang seharusnya kami harapkan, bukan kemundurannya, bilamana para bhikkhu dapat menghayati dan mengamalkan faktor Penerangan Sejati yaitu :
• perhatian (sati)
• menyelidiki
dhamma (dhammavicaya)
• bersemangat
(viriya)
• kegiuran
dalam meditasi (piti)
• ketenangan
(passaddhi)
• meditasi
(samadhi)
• keseimbangan
bathin (upekkha)
Bilamana ketujuh syarat yang menuju kesejahteraan itu dapat dipahami, dihayati dan diamalkan oleh para bhikkhu, maka perkembangan dan kemajuan mereka yang kita harapkan, bukan kemundurannya."
10. Tujuh syarat selanjutnya yang menuju kesejahteraan akan kami utarakan kepada kalian, para bhikkhu. Dengarkan dan perhatikan dengan seksama."
"Baiklah, Bhante," jawab para bhikkhu.
TUJUH
PENCERAPAN
"Perkembangan dan kemajuan para bhikkhu yang kita harapkan, bukan kemundurannya, selama para bhikkhu :
• memiliki pengertian tentang ketidakkekalan (anicca sanna)
• mengembangkan
pengertian tentang ketanpa-akuan (anatta sanna)
• mengembangkan
pengertian tentang ketidak-indahan tubuh (asubha sanna)
• mengembangkan
pelenyapan pandangan salah (adinava sanna)
• mengembangkan
pelenyapan kotoran batin (pahana sanna)
• mengembangkan
pelenyapan nafsu (viraga sanna)
• mengembangkan
penghentian dukkha (nirodha)
Bilamana para bhikkhu benar-benar memahami dan menghayati serta mengamalkan ketujuh syarat untuk menuju kesejahteraan ini, maka perkembangan para bhikkhu yang kita harapkan, bukan kemundurannya."
11. Enam syarat selanjutnya yang menuju kesejahteraan akan kami utarakan kepada kalian. Dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama."
"Silakan Bhante," jawab para bhikkhu.
ENAM
SYARAT YANG HARUS DIINGAT
"Perkembangan para bhikkhu yang harus kita harapkan, bukan kemunduran, selama para bhikkhu :
- Dalam pergaulan para bhikkhu saling mengasihi dan
menyayangi dengan perbuatan.
- Ucapan.
- Pikiran, dalam hal pribadi maupun umum.
- Membagi dengan adil segala sesuatu yang mereka
terima sesuai dengan peraturan sangha walaupun itu berupa isi dari
"patta" (tanpa makan).
- Melaksanakan kehidupan suci secara pribadi maupun
di tempat umum, dengan sila yang tidak dilanggar, utuh, tak ternoda, dan
tak tercela adalah menghasilkan kebebasan, dipuja oleh para bijaksana yang
tak ternoda oleh nafsu keinginan untuk terlahir kembali dan
pandangan-pandangan salah.
- Hidup diantara para orang suci (ariya), secara
pribadi atau umum mengembangkan pandangan benar untuk melenyapkan
"penderitaan" (dukkha).
Selama keenam syarat ini selalu ada pada para bhikkhu, selama mereka melaksanakan keenam syarat ini, maka perkembangan para bhikkhu yang diharapkan, bukan kemunduran."
NASEHAT KEPADA PARA BHIKKHU
12. Ketika Sang Bhagava berada di puncak Gijjhakuta, Rajagaha, Beliau sering memberi nasehat kepada para bhikkhu : "Ini adalah kebajikan moral (sila), ini adalah meditasi (samadhi), dan ini adalah kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi dikembangkan berdasarkan sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan bila kebijaksanaan (panna) dikembangkan berdasarkan pada meditasi (samadhi) yang baik. Batin yang dikembangkan berdasarkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari kotoran batin seperti nafsu indria (kamasava), nafsu untuk "menjadi" (bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
13. Pada waktu Sang Bhagava berdiam di Rajagaha dekat Suttamartha, Beliau
berkata kepada Ananda : "Ananda, marilah kita pergi ke Ambalathika."
"Baiklah
bhante,"
Demikianlah Sang Bhagava berdiam di Ambalathika, bersama-sama dengan sejumlah besar para bhikkhu.
Di
Ambalathika, Sang Bhagava menginap di pesanggrahan raja, di tempat itu Sang
Bhagava sering memberikan nasehat kepada para bhikkhu : "Ini adalah
kebajikan moral (sila), ini adalah meditasi (samadhi), dan ini adalah
kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi
dikembangkan berdasarkan pada sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan
bila kebijaksanaan (panna) dikembangkan berdasarkan pada meditasi (samadhi)
yang baik. Batin yang dikembangkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari
kotoran batin seperti nafsu indria (kamasava), nafsu untuk "menjadi"
(bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
15. Setelah Sang Bhagava merasa sudah cukup lama berdiam di Ambalathika, maka Beliau berkata : "Ananda, marilah kita pergi ke Nalanda."
"Baiklah, Bhante," jawab Ananda.
Demikianlah Sang Bhagava tinggal di Nalanda bersama sejumlah besar para bhikkhu, kemudian berdiam di Pavarikambavana.
RAUNGAN SINGA SARIPUTTA
16. Ketika Sariputta menghadap Sang Bhagava, dengan hormat Beliau lalu duduk di hadapan Sang Bhagava dan kemudian Beliau berkata kepada Sang Bhagava : "Keyakinan kami terhadap Sang Bhagava, sungguh tak ada bandingannya. Belum pernah kami menjumpai baik dulu maupun sekarang ini ada seorang brahmana atau orang lain yang lebih terpercaya dalam Penerangan Sempurna dibandingkan dengan Bhagava sendiri."
"Sungguh mulia dan terpuji ucapanmu itu, Sariputta. Ucapanmu yang demikian lantang itu bagaikan raungan singa. Tetapi bagaimanakah hubungan ini, Sariputta? Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang langsung tentang para Bhagava dan para Arahat di masa yang lampau, mengenai bagaimana moral (sila), dhamma, kebijaksanaan (panna) mereka, dan bagaimana membebaskan diri?"
"Hal itu kami tidak ketahui, Bhante."
"Sariputta, dalam hubungan ini, apakah kamu mempunyai pengetahuan langsung tentang semua Bhagava dan para Arahat, di masa yang akan datang mengenai bagaimana moral (sila), dhamma dan kebijaksanaan (panna) mereka, bagaimana mereka membebaskan diri?"
"Hal itu kami tidak ketahui, Bhante."
"Sariputta,
bagaimanakah tentang diriku sendiri yang sekarang adalah seorang Arahat Samma
Sambuddha, apakah kamu mempunyai pengetahuan langsung mengenai bagaimana aku
melangsungkan hidupku, bagaimana aku membebaskan diriku?"
"Hal itu tidak kami ketahui, Bhante."
"Sariputta, maka jelaslah bahwa sesungguhnya kamu tidak memiliki pengetahuan langsung mengenai para Arahat Samma Sambuddha baik di waktu lampau, yang akan datang maupun di waktu sekarang ini. Lalu bagaimana kamu berani mengutarakan ucapan yang sedemikian mulia dan terpuji seperti ucapanmu yang demikian lantang bagaikan suara raungan singa mengatakan : "Keyakinan kami terhadap Sang Bhagava adalah tidak ada bandingannya, tak pernah kami menjumpai baik dahulu maupun sekarang ini, ada seorang brahmana atau orang lain yang lebih terpuji dalam kesempurnaan dibandingkan dengan yang mulia sendiri."
17. "Bhante, kami sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan langsung seperti itu, mengenai para Arahat Samma Sambuddha baik dari waktu yang lampau, yang akan datang maupun di masa sekarang. Akan tetapi meskipun demikian, kami sekarang menyadari akan sifat Dhamma yang penuh sifat keadilan itu. Sebagai suatu perumpamaan, ada sebuah benteng perbatasan di sebuah kerajaan yang dijaga dengan ketat sekali. Kubu-kubu dengan menaranya yang menjulang tinggi yang mempunyai hanya sebuah pintu gerbang saja. Di sana ada seorang penjaga pintu yang cerdas berpengalaman, bersifat sangat hati-hati dan waspada. Ia akan mengusir orang-orang asing, tetapi mengijinkan orang baik-baik yang dikenalnya untuk masuk. Pada suatu hari ketika ia memeriksa jalan yang mengelilingi seluruh perbentengan itu, ia tidak melihat adanya sebuah lubang atau celah-celah di dinding perbentengan, yang cukup dilalui oleh seekor kucing. Sehubungan dengan ini maka tiba-tiba ia berkesimpulan : "Mahluk hidup yang besar maupun kecil bentuknya akan masuk dan akan meninggalkan kota ini, mau tak mau harus berjalan melalui pintu ini."
Demikian saya telah menyatakan sesuai dengan dhamma.
"Oleh karena, para Arahat Samma Sambuddha dari waktu yang lampau, semua Bhagava telah meninggalkan kelima rintangan kekotoran batin dan memperoleh kesadaran. Mereka menunjukkan perhatian pada keempat Dasar Kesadaran dan mengembangkan ketujuh faktor Penerangan Sejati dengan seksama sehingga mencapai kesempurnaan sepenuhnya, dalam penerangan sejati yang tak ada bandingannya.
"Demikian pula para Arahat Samma Sambuddha pada waktu yang akan datang, akan meninggalkan kelima rintangan kekotoran batin yang memperlemah pandangan terangnya, akan menunjukkan perhatian mereka pada keempat dasar Kesadaran dan akan mengembangkan ketujuh faktor penerangan sejati dengan seksama, dan dengan sepenuhnya akan menjadi sempurna dalam penerangan sejati yang tiada bandingannya.
"Bhante sendiri, yang menjadi Arahat Samma Sambuddha, yang telah meninggalkan kelima rintangan kekotoran batin yang dapat memperlemah pandangan terang, yang telah mahir dalam keempat dasar kesadaran dan yang melaksanakan ketujuh faktor penerangan sejati dengan seksama dan menjadi sempurna sepenuhnya, dalam penerangan sejati yang tiada bandingnya."
18. Begitu pula ketika Sang Bhagava berada di Pavarikambavana, Nalanda, Beliau sering memberi nasehat kepada para bhikkhu : "Ini adalah kebajikan (moral), ini adalah meditasi (samadhi), dan ini adalah kebijaksanaan (panna). Besar sekali pahala dan kemajuan bila meditasi dikembangkan berdasarkan pada sila yang baik. Besar sekali pahala dan kemajuan bila kebijaksanaan (panna) dikembangkan berdasarkan pada meditasi (samadhi) yang baik. Batin yang dikembangkan berdasarkan pada kebijaksanaan yang baik akan bebas dari kotoran batin seperti nafsu indria (kamasava), nafsu untuk "menjadi" (bhavasava) dan pandangan salah (ditthasava)."
19. Setelah Sang Bhagava tinggal di Nalanda, Beliau lalu bersabda kepada Ananda : "Ananda, marilah kita ke Pataligama."
"Baiklah, Bhante," jawab Ananda. Demikianlah Sang Bhagava tinggal di Pataligama bersama sejumlah besar bhikkhu.
20. Kemudian para umat beragama Pataligama berkunjung menghadap Sang Buddha : "Kami telah mendengar bahwa Bhante telah tiba di Pataligama."
Kemudian mereka mendekati Sang Bhagava sambil bersujud kepada Beliau dengan hikmad. Kemudian duduk pada salah satu sisi. Lalu mereka berkata kepada Sang Bhagava : "Bhante, dapatkah Bhante mengunjungi kami di ruangan dhammasala?"
Sang Bhagava
bersikap diam. Dengan sikap diam ini berarti Sang Bhagava menyetujui.
21. Mengetahui bahwa Sang Bhagava telah setuju, para utusan dari Pataligama bangkit dari tempat mereka, memberi hormat dengan penuh hikmad dan mereka mengundurkan diri. Mereka mempersiapkan segala sesuatu di ruangan Dhammasala, menutupi seluruh lantainya, menyediakan tempat duduk, dan menempatkan sebuah lampu. Sesudah semuanya selesai dipersiapkan, mereka kembali menghadap Sang Bhagava, memberi hormat dengan penuh hikmad dan duduk pada salah satu sisi sambil berkata : "Bhante, ruangan dhammasala dengan lantainya telah ditutupi, dan tempat-tempat duduk telah disiapkan demikian pula sebuah lampu minyak telah disiapkan. Sekarang kami persilakan Bhante untuk menentukan waktu sebagaimana mestinya."
22. Sang Bhagava lalu mempersiapkan diri, sambil membawa patta dan jubah menuju ke ruangan sidang bersama-sama dengan para bhikkhu. Sesudah mencuci kakinya Sang Bhagava masuk ke ruang Dhammasala dan duduk dekat tiang di tengah-tengah menghadap ke timur. Para bhikkhu sesudah mencuci kaki, juga memasuki ruangan Dhammasala dan duduk dekat dinding sebelah barat, menghadap ke timur, sehingga dengan demikian Sang Bhagava berada di depan mereka. Dan utusan dari Pataligama sesudah mencuci kaki, mereka memasuki ruang Dhammasala lalu duduk dekat dinding sebelah timur menghadap ke barat, sehingga Sang Bhagava berhadapan dengan mereka.
HASIL
DARI KEHIDUPAN-KEHIDUPAN YANG TIDAK SUSILA DAN YANG SUSILA
23. Setelah
itu, Sang Bhagava bersabda kepada para utusan dari Pataligama sebagai berikut :
"Wahai saudara-saudara yang berkeluarga, orang-orang yang tidak susila dan karena merosotnya moral orang-orang itu maka mereka akan menjumpai lima bahaya :
·
Kehilangan sebagian besar kekayaan,
karena sifat mereka yang acuh tak acuh
·
Perbuatan mereka yang tidak
baik
·
Perbuatan mereka yang memalukan dan
menyusahkan setiap warga masyarakat, apakah mereka itu sebagai bhikkhu,
pendeta, berkeluarga atau pertapa
·
Mereka akan meninggal dunia dalam
kebingungan
·
Pada saat kehancuran tubuh mereka
setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam alam penderitaan, keadaan
yang tidak bahagia, alam terbawah, alam neraka.
24. Saudara-saudara berkeluarga, bagi orang yang melaksanakan sila (kebajikan moral), akan mendapat pahala dan kekayaannya akan bertambah besar. Orang yang rajin mengerjakan apa yang harus dikerjakannya, berkelakuan baik dan mempunyai keyakinan yang kuat, tidak berbuat hal-hal yang memalukan dalam masyarakat, apakah mereka dari golongan para kesatria, para brahmana, para orang berkeluarga ataupun para pertapa, jika mereka meninggal, mereka akan meninggal dengan tenang dan pada saat kehancuran tubuh mereka setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam keadaan bahagia di alam surga (suggati)
25. Sang Bhagava telah menggunakan banyak waktu untuk memberi pengertian kepada utusan dari Pataligama itu mengenai dhamma, membangkitkan, menunjukkan dan menggembirakan hati mereka dengan dhamma. Sesudah itu Beliau berpisah dengan mereka sambil berkata : "Wahai saudara-saudara berkeluarga, hari telah larut malam, sebaiknya kita akhiri pertemuan kita sampai di sini."
Demikianlah sabda yang mulia Sang Buddha. Utusan dari Pataligama itu lalu bangkit dari tempat mereka, bersujud dengan penuh hikmad kepada Sang Bhagava, mereka lalu mengundurkan diri dan meninggalkan ruangan Dhammasala. Sang Bhagava sesudah kepergian mereka itu segera mengundurkan diri ke tempat yang sunyi.
26. Pada saat itu, Sunidha dan Vassakara, Patih Magadha, sedang membangun sebuah perbentengan di Pataligama, pertahanan untuk melawan suku Vajji. Mereka mengundang para dewa dalam jumlah yang besar, sampai beribu-ribu banyaknya. Mereka berada di lapangan di Pataligama. Di daerah para dewa kekuasaan besar, dengan para pekerjanya yang mempunyai kekuatan yang besar pula, sibuk membangun pertahanan.
Demikian pula para dewa yang kekuasaan sedang maupun yang kecil keunggulan serta para pekerja yang sedang dan yang lebih kecil kekuatannya juga sibuk dalam membangun pertahanan.
27. Sang Bhagava memandang dengan mata batin (dibbacakkhu) yang suci, melihat rakyat dan para dewa yang ribuan jumlahnya yang berada di lapangan kerja masing-masing di Pataligama. Demikianlah setelah Sang Bhagava bangun waktu pagi menjelang subuh, beliau berkata kepada Ananda : "Ananda, siapakah mereka itu yang sedang membangun sebuah kota di Pataligama?"
"Bhante, Sunidha dan Vassakara, patih Magadha. Mereka sedang membangun sebuah perbentengan di Pataligama sebagai pertahanan untuk menghadapi suku Vajji."
28. "Ananda, demikianlah Sunidha yang kamu saksikan serta Vassakara yang meminta nasihat kepada para dewa Tavatimsa. Dengan penglihatan batinKu nampaklah olehKu ribuan dewa mendirikan bangunan di Pataligama. Di daerah di mana para dewa dengan kekuasaan yang maha besar, serta para pekerja dengan kekuatan yang maha besar pula, sibuk dalam membangun bangunan-bangunan. Demikian pula para dewa dengan kekuasaan yang sedang dan kecil serta para pekerja dengan kekuatan sedang dan kecil sibuk pula membangun bangunan-bangunan. Ananda, sebenarnya selama suku Ariya meluas, menyebabkan perdagangan berkembang, hal ini menyebabkan kota Pataliputta menjadi pusat perdagangan yang terkenal. Tetapi Pataliputta akan ditimpa tiga bahaya, yaitu : api, air dan perpecahan."
29. Pada suatu hari, Sunidha dan Vassakara menghadap Sang Bhagava, sesudah memberi hormat kepada Sang Bhagava, mereka berdiri pada satu sisi dan berkata pada Sang Bhagava : "Kami menghadap sudilah kiranya Yang Mulia Gotama menerima undangan kami untuk santap besok pagi, bersama-sama dengan para bhikkhu. Sang Buddha diam, sebagi tanda Beliau menyetujuinya.
30. Mengetahui bahwa Sang Bhagava setuju, Sunidha dan Vassakara menundurkan diri. Mereka menyuruh memilih makanan, keras dan lunak untuk disiapkan. Ketika waktunya telah tiba, mereka memberitahukan kepada Sang Bhagava, "Waktunya telah tiba, Yang Mulia Gotama, hidangan telah siap."
Karena itu, Sang Bhagava mempersiapkan diri sebelum tengah hari dan sambil membawa patta serta jubah, pergi bersama-sama dengan para bhikkhu ke tempat tinggal Sunidha dan Vassakara. Beliau mengambil tempat duduk yang telah disediakan. Sunidha serta Vassakara sendiri mempersilakan para bhikkhu, yang dipimpin oleh Sang Buddha. Mereka menghidangkan hidangan pilihan, keras dan lunak. Ketika Sang Bhagava selesai makan dan telah menaruh mangkoknya, maka para hadirin lalu mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk pada tempat yang telah disediakan.
31. Demikianlah, Sang Bhagava mengutarakan rasa terima kasihnya dengan syair sebagai berikut :
"Di manapun ia berdiam, seorang yang bijaksana selalu melaksanakan kesucian serta kebajikan, dengan sikapnya ini ia membuat berkah jasanya telah mengikutsertakan para dewa setempat dan dengan penghormatan mereka yang meriah, sebaiknya mereka memberi anugrah dengan berkah dengan rahmat dan cinta kasih bagaikan seorang ibu bersikap terhadap putranya sendiri yang tunggal, demikianlah mereka menikmati rahmat para dewa dan ia mendapat banyak keberuntungan."
Kemudian, setelah Sang Bhagava mengucapkan terima kasih dengan syair tersebut kepada kedua patih Magadha, Sunidha dan Vassakara, Beliau bangkit dari tempat dudukNya dan meninggalkan tempat.
32. Mereka mengikuti Sang Bhagava dengan berkata : "Gerbang yang akan dilalui oleh Samana Gotama pada hari ini akan dinamakan 'Gerbang Gotama', dan perahu yang akan digunakan oleh Beliau untuk menyeberangi Sungai Gangga akan dinamakan 'Perahu Gotama'."
33. Tetapi ketika Sang Bhagava tiba di tepi sungai, air sungai Gangga sedang meluap, dan karena ingin menyeberang ada beberapa orang yang sibuk mencari perahu, ada yang membuat rakit dari kayu dan ada yang membuat rakit dari bahan pembuat keranjang; selagi Beliau melihat mereka, pada saat itu Beliau menyatakan syair berikut ini :
"Mereka yang telah menyeberangi lautan kesuraman membuat jalan yang keras melintasi air. Ini adalah cara bijaksana, mereka selamat. Sedangkan mereka yang gagal, mengikat rakit penyeberang pada dunia."
Selanjutnya ==> Maha Parinibbana Sutta (II)
Terima kasih ketemu dgn Blog yg memuat cerita Dhamma ini, semoga jasanya berbuah Arhat.
BalasHapusAnumodana
BalasHapusSadhu...Sadhu...Sadhu...
_/|\_