ALAVAKA
Raksasa
Makhluk Pemakan Daging Manusia yang Menjadi Sadar
Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan
daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal
sebagai "si Raksasa".
Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan
ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai
ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan
sebagai persembahan untuk Alavaka.
Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan
membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan
itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat
bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang
'sederhana' itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali
untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan
harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.
Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara
raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk
santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan
bungkusan-bungkusan berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil
bungkusan tersbut akan ditangkap pencuri dan dikirim kepada Alavaka.
Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu.
Akhirnya usaha terakhirnya dalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan
persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi
sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki dan ia adalah putra Sang
Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke
Alavaka keesokan paginya.
Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu.
Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat
apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas kasihNya kepada sang Raja, sang
Pangeran, dan Alavaka, Sang Buddha seharian melakukan perjalanan pergi ke goa
tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa
tersebut.
Si Raksasa sedang
pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat
bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya
tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk
si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.
Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari
pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan
maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di
hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak
takut.
Alavaka kemudian
menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi
sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat
kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka
bertanya :
"Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan
duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di
tempat?" Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.
Alavaka berpikir, "Betapa bodohnya saya membuang-buang
tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini". Karena itu dia meminta
Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga
kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan
harapan di dapat membunuh Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk
keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata : "Saya
tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu
lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini".
Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang
diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, "Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika
engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan
melemparkanmu ke seberang sungai".
Sang Buddha
berkata kepadanya dengan tenang, "Tak
ada seseorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa,
brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika
engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan".
Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari
orang tuanya yang juga mendapatkannys secara turun-temurun. Dia telah lupa pada
jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan
menuliskannya di atas daun emas.
Pertanyaan tersebut adalah :
"Apakah kekayaan terbesar bagi seorang
manusia? Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang
menguasainya dengan baik? Apakah rasa termanis dari semua rasa? Jalan kehidupan
mana yang terbaik?
Sang Buddha
menjawab :
"Kekayaan terbesar bagi seorang manusia
adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan
memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran.
Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya".
Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya
dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah : "Ketika
meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar
seseorang itu tidak bersedih?"
Jawaban Sang Buddha
adalah :
"Ia yang memiliki empat
kebajikan ini - kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hati—maka
kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia".
Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka
berkata, "Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku.
Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke
Alavi", Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima
sebagai murid.
Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang
bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan di mana Sang
Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu
dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka
merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan
raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya
kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan
Alavaka.
Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging
manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas
asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya
menjadi murid yang lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar