AMBAPALI
Wanita
Tunasusila yang Kemudian Menjadi Seorang Arahat
Orang-orang dari semua kasta, yang tinggi dan rendah, kaum
wanita maupun kaum pria, semuanya mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan
Beliau dengan senang hati mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan Beliau
dengan senang hati menerima mereka. Bagi Beliau, tidak ada perbedaan kasta di
dalam darah dan airmata. Ketika Sang Buddha dan murid-muridNya berdiam di
Vesali, seorang wanita bernama Ambapali menawarkan Beliau untuk menggunakan
Kebun Mangga miliknya yang berada di luar kota sehingga Beliau dapat beristirahat
di keteduhan pohon-pohon mangga tersebut.
Ambapali adalah seorang wanita yang sangat cantik, bagaikan
matahari keemasan yang muncul dari laut, tetapi mempunyai sifat yang tak
bermoral (tunasusila). Dia tidak berniat untuk mengunjungi Sang Buddha, tetapi
pelayannya memberitahukan, "Nyonya, kemarin semua orang terhormat dan
orang biasa, pergi berjalan menuju ke Kebun Mangga. Ketika saya bertanya
mengapa mereka pergi ke sana, mereka mengatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh
adanya seseorang yang sedang beristirahat di sana. Tak ada orang yang seperti
Beliau. Beliau adalah seorang putera raja, yang telah meninggalkan kerajaannya,
dan kini telah menemukan Kebenaran (Dhamma)".
Ambapali yang selalu siap untuk mencari sesuatu yang baru,
segera bangkit, mengambil keretanya dan mengendarainya menuju ke Kebun Mangga
dnegan perasaan bangga. Ketika tiba di pintu gerbang, dia turun dari keretanya
dan berjalan melewati pohon-pohon kelapa dan mangga. Suasana di sana sangat
sunyi dan tenang, bahkan daun-daun pun tidak bergerak. Di bawah bayangan
pohon-pohon yang teduh, Sang Buddha duduk dengan tangan dan kaki yang dilipat
dan di belakang kepala Beliau bersinar sebentuk aura seperti bulan purnama di
tengah malam.
Ambapali berdiri di sana dengan tercengang, melupakan
kecantikannya, melupakan dirinya, melupakan segalanya, kecuali hanya Sang
Tercerah, Sang Buddha. Hatinya luluh dan hanyut dalam deraian air mata. Dengan
perlahan-lahan, dia mendekati Sang Buddha serta menjatuhkan dirinya di kaki
Beliau dan bernamaskara dengan wajah menyentuh tanah.
Sang Buddha memintanya untuk bangun dan duduk, seta
memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Dia mendengarkan kata-kata luar biasa ini
dengan telinga yang mencernanya bagaikan bumi gersang yang amat merindukan
turunnya hujan. Setelah dia menerima Dhamma tersebut, di berlutut di kaki Sang
Buddha dan mengundang Beliau serta murid-muridNya untuk bersantap di rumahnya
keesokan harinya. Sang Buddha menerima undangan tersebut.
Ketika itu pejabat kota Vesali juga pergi mengunjungi Sang
Buddha. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Ambapali, yang mengatakan
kepada mereka bahwa Sang Buddha telah menerima undangan untuk bersantap di
rumahnya keesokan hari.
Mereka berkata padanya, "Juallah kepda kami kehormatan
dari persetujuan Sang Buddha itu dengan sejumlah emas".
Ambapali yang diliputi oleh kegembiraan, berkata,
"Tuan-tuan, bahkan jika seandainya anda memberikan kota Vesali beserta
semua isinya, saya tetap tidak akan
menyerahkan kesempatan berharga dalam mengundang Beliau bersantap".
Dengan marah, para pejabat ini pergi kepada Sang Buddha dan
memohon untuk dapat mengundang Beliau bersantap, tetapi Sang Buddha
memberitahukan mereka bahwa Ia sebelumnya telah menerima undangan dari
Ambapati.
Keesokan harinya, Ambapali menyiapkan nasi susu yang manis
dan kue-kue di hadapan Sang Buddha dan para muridNya, dan Ambapali sendiri yang
melayani mereka dengan penuh kerendahan hati. Setelah Sang Buddha selesai
makan, Ambapali duduk di satu sisi, dengan tangan beranjali, berkata,
"Yang Mulia, saya menyerahkan Kebun ini kepada Sangha. Terimalah
persembahan ini, jika Yang Mulia bersedia".
Sang Buddha menerima pemberian tersebut karena melihat
kesungguhan hatinya. Beliau kemudian menyenangkan dia dengan memberi wejangan
Dhamma. Ini merupakan titik balik bagi cara hidup Ambapali : dia mengerti
Dhamma dan menjadi wanita yang bajik/bermoral.
Beberapa waktu kemudian, Ambapali memasuki Persaudaraan para
Bhikkhuni dan dengan kebijaksanaan hati yang senantiasa dikembangkan dan
dimantapkan, dia menjadi seorang Arahat. Sama seperti bunga teratai yang tidak
tumbuh pada tanah yang kering, tetapi berkembang dari lumpur yang kotar dan
gelap, demikian pula Ambapali, meskipun masa lalunya gelap/tak bermoral, di
berjuang untuk mencapai keluhuran pengembangan spiritual.
Setelah kejadian ini, Sang Buddha dan murid-muridNya pindah
ke sebuah desa kecil terdekat yang bernama Beluva. Karena musim hujan hampir
tiba, Sang Buddha memutuskan untuk melewati musim hujan (masa vassa) terakhir
di desa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar