Selasa, Juli 03, 2012

A m b a p a l i

AMBAPALI
Wanita Tunasusila yang Kemudian Menjadi Seorang Arahat



Orang-orang dari semua kasta, yang tinggi dan rendah, kaum wanita maupun kaum pria, semuanya mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan Beliau dengan senang hati mencari ajaran-ajaran dari Sang Buddha, dan Beliau dengan senang hati menerima mereka. Bagi Beliau, tidak ada perbedaan kasta di dalam darah dan airmata. Ketika Sang Buddha dan murid-muridNya berdiam di Vesali, seorang wanita bernama Ambapali menawarkan Beliau untuk menggunakan Kebun Mangga miliknya yang berada di luar kota sehingga Beliau dapat beristirahat di keteduhan pohon-pohon mangga tersebut.

Ambapali adalah seorang wanita yang sangat cantik, bagaikan matahari keemasan yang muncul dari laut, tetapi mempunyai sifat yang tak bermoral (tunasusila). Dia tidak berniat untuk mengunjungi Sang Buddha, tetapi pelayannya memberitahukan, "Nyonya, kemarin semua orang terhormat dan orang biasa, pergi berjalan menuju ke Kebun Mangga. Ketika saya bertanya mengapa mereka pergi ke sana, mereka mengatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh adanya seseorang yang sedang beristirahat di sana. Tak ada orang yang seperti Beliau. Beliau adalah seorang putera raja, yang telah meninggalkan kerajaannya, dan kini telah menemukan Kebenaran (Dhamma)".

Ambapali yang selalu siap untuk mencari sesuatu yang baru, segera bangkit, mengambil keretanya dan mengendarainya menuju ke Kebun Mangga dnegan perasaan bangga. Ketika tiba di pintu gerbang, dia turun dari keretanya dan berjalan melewati pohon-pohon kelapa dan mangga. Suasana di sana sangat sunyi dan tenang, bahkan daun-daun pun tidak bergerak. Di bawah bayangan pohon-pohon yang teduh, Sang Buddha duduk dengan tangan dan kaki yang dilipat dan di belakang kepala Beliau bersinar sebentuk aura seperti bulan purnama di tengah malam.

Ambapali berdiri di sana dengan tercengang, melupakan kecantikannya, melupakan dirinya, melupakan segalanya, kecuali hanya Sang Tercerah, Sang Buddha. Hatinya luluh dan hanyut dalam deraian air mata. Dengan perlahan-lahan, dia mendekati Sang Buddha serta menjatuhkan dirinya di kaki Beliau dan bernamaskara dengan wajah menyentuh tanah.

Sang Buddha memintanya untuk bangun dan duduk, seta memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Dia mendengarkan kata-kata luar biasa ini dengan telinga yang mencernanya bagaikan bumi gersang yang amat merindukan turunnya hujan. Setelah dia menerima Dhamma tersebut, di berlutut di kaki Sang Buddha dan mengundang Beliau serta murid-muridNya untuk bersantap di rumahnya keesokan harinya. Sang Buddha menerima undangan tersebut.

Ketika itu pejabat kota Vesali juga pergi mengunjungi Sang Buddha. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Ambapali, yang mengatakan kepada mereka bahwa Sang Buddha telah menerima undangan untuk bersantap di rumahnya keesokan hari.

Mereka berkata padanya, "Juallah kepda kami kehormatan dari persetujuan Sang Buddha itu dengan sejumlah emas".

Ambapali yang diliputi oleh kegembiraan, berkata, "Tuan-tuan, bahkan jika seandainya anda memberikan kota Vesali beserta semua  isinya, saya tetap tidak akan menyerahkan kesempatan berharga dalam mengundang Beliau bersantap".

Dengan marah, para pejabat ini pergi kepada Sang Buddha dan memohon untuk dapat mengundang Beliau bersantap, tetapi Sang Buddha memberitahukan mereka bahwa Ia sebelumnya telah menerima undangan dari Ambapati.

Keesokan harinya, Ambapali menyiapkan nasi susu yang manis dan kue-kue di hadapan Sang Buddha dan para muridNya, dan Ambapali sendiri yang melayani mereka dengan penuh kerendahan hati. Setelah Sang Buddha selesai makan, Ambapali duduk di satu sisi, dengan tangan beranjali, berkata, "Yang Mulia, saya menyerahkan Kebun ini kepada Sangha. Terimalah persembahan ini, jika Yang Mulia bersedia".

Sang Buddha menerima pemberian tersebut karena melihat kesungguhan hatinya. Beliau kemudian menyenangkan dia dengan memberi wejangan Dhamma. Ini merupakan titik balik bagi cara hidup Ambapali : dia mengerti Dhamma dan menjadi wanita yang bajik/bermoral.

Beberapa waktu kemudian, Ambapali memasuki Persaudaraan para Bhikkhuni dan dengan kebijaksanaan hati yang senantiasa dikembangkan dan dimantapkan, dia menjadi seorang Arahat. Sama seperti bunga teratai yang tidak tumbuh pada tanah yang kering, tetapi berkembang dari lumpur yang kotar dan gelap, demikian pula Ambapali, meskipun masa lalunya gelap/tak bermoral, di berjuang untuk mencapai keluhuran pengembangan spiritual.

Setelah kejadian ini, Sang Buddha dan murid-muridNya pindah ke sebuah desa kecil terdekat yang bernama Beluva. Karena musim hujan hampir tiba, Sang Buddha memutuskan untuk melewati musim hujan (masa vassa) terakhir di desa ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar