WAKTU
Berbicara mengenai waktu, mungkin
orang akan banyak yang bertanya demikian: jika kesunyataan memang seperti yang
telah diterangkan diatas, maka bagaimanakah dapat menerangkan adanya “Waktu?”.
Anggapan tentang masa lampau, sekarang
dan yang akan datang hanya akan timbul, jika kita menghubungkan sesuatu yang
kita anggap bersifat tetap; misalnya benda ini telah ada di masa yang lampau,
benda ini ada di masa sekarang dan benda ini akan tetap ada di masa yang akan
datang; atau saya tadi ada di situ, saya nanti akan ke situ. Dengan kata lain,
anggapan tentang ‘waktu’ yang lampau, sekarang dan yang akan datang yang
berhubungan dengan sesuatu yang tetap inilah yang menyebabkan timbulnya
anggapan tentang waktu. dan anggapan ini akan tetap ada selama sakkayaditthi
belum dapat dipatahkan.
Bilamana seseorang yang telah mencapai
tingkat kesucian dapat melenyapkan kesesatan ini, maka ia akan melihat
kesunyataan dalam keadaan yang semurni-murninya dan tidak dicampur adukkan oleh
anggapan-anggapan tentang masa lampau dan masa mendatang. Sang Buddha menamakan
orang suci yang demikian itu sebagai “akappiyo” atau “ Yang telah bebas dari
belenggu Kappa atau waktu”.
Didalam
kitab Brahmajala Sutta pada Digha Nikaya. ketika menunjukkan sebab-sebab
kekeliruan dari 62 teori-teori palsu, Sang Buddha menjelaskan bahwa semua
kekeliruan itu disebabkan oleh karena ada kesesatan pandangan tentang “pubbanta
dan aparanta” atau “dahulu dan kemudian”.
Begitu
pula didalam kitab Milindapanha, dimana Raja Milinda bertanya kepada
Bihkkhu Nagasena : Bhante, apakah yang menimbulkan waktu?”.
Jawab bhikkhu Nagasena : “ Baginda,
ketidak-tahuanlah yang menimbulkan waktu!”.
Jika didalam ajaran agama Buddha,
“Waktu” itu bukan merupakan Kesunyataan, maka bagaimanakah dapat menerangkan
adanya “Perubahan”?
Apakah perubahan itu dan
kapan kita dapat menyadari adanya”perubahan?”
Mari kita lihat seorang bayi yang
mungil terbaring di buaiannya, dengan anggota tubuhnya yang sangat kecil dan
lemah; sepuluh tahun kemudian, kita melihatnya sebagai seorang anak yang sudah
besar, berlari-lari dan berloncat-loncat dengan riang gembiranya, aduhai,
betapa banyaknya perubahan yang terjadi atas dirinya! demikianlah, maka
anggapan tentang perubahan akan timbul, jika kita mengambil dua saat dalam
kehidupan anak itu dan membandingkannya dari yang satu dengan yang lain, dengan
mengabaikan samasekali saat-saat yang tidak terhitung banyaknya yang harus
dilewatkan anatara dua saat itu. Orang tua anak itu yang lebih kerap melihatnya
daripada orang lain, ialah tidak merasakan perubahan itu dengan menyolok.
Sedangkan anak itu sendiri, melihat dirinya lebih kerap lagi daripada siapapun
juga, tidak merasakan sama sekali adanya perubahan itu. Kecuali bilamana ia mau
merenungkan dirinya, dan dalam renungan itu ia membandingkan dua saat dalam
kehidupannya, maka barulah ia dapat merasakan sedikit banyak adanya perubahan
itu. Demikianlah secara mutlak tidak ada perubahan bagi mereka yang mengenal
sedalam-dalamnya akan arus Kesunyataan ini.
Arus Kesunyataan ini mengalir terus
bagaikan aliran sebuah sungai, yang dikuasai oeh hukum anicca. Dalam aliran ini
tidak ada titik yang dapat dikhayalkan sebagai yang tetap adanya (dalam
pikiran), dan yang dapat dibanding-bandingkan, sehingga menimbulkan anggapan
tentang adanya “perubahan”. Penghayatan serupa itu merupakan pula suatu keadaan
yang Sakkayaditthi.
Catatan :
·
Bagi makhluk hidup, DUKKHA (TILAKKHANA) itu tidak akan
berhenti (sebelum parinibbana), bahkan seorang Arahat (yang masih hidup) masih
di cengkeram oleh DUKKHA (TILAKKHANA), itu karena secara fisik & batinnya
yang muncul padam itu... TETAPI seorang Arahat telah terbebas dari DUKKA (Ariya
Sacca) karena kekotoran batinnya (LDM) sudah di kikis habis (di basmi).
·
Lokuttara Citta itu sudah bersih (tidak ada LDM/kekotoran
batin lagi)...Lokuttara Citta itu disebut juga kesadaran di atas atau di luar 3
alam (Kama Bhumi 11, Rupa Bhumi 16 dan
Arupa Bhumi 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar