Sabtu, Juli 14, 2012

Waktu


WAKTU


Berbicara mengenai waktu, mungkin orang akan banyak yang bertanya demikian: jika kesunyataan memang seperti yang telah diterangkan diatas, maka bagaimanakah dapat menerangkan adanya “Waktu?”.

Anggapan tentang masa lampau, sekarang dan yang akan datang hanya akan timbul, jika kita menghubungkan sesuatu yang kita anggap bersifat tetap; misalnya benda ini telah ada di masa yang lampau, benda ini ada di masa sekarang dan benda ini akan tetap ada di masa yang akan datang; atau saya tadi ada di situ, saya nanti akan ke situ. Dengan kata lain, anggapan tentang ‘waktu’ yang lampau, sekarang dan yang akan datang yang berhubungan dengan sesuatu yang tetap inilah yang menyebabkan timbulnya anggapan tentang waktu. dan anggapan ini akan tetap ada selama sakkayaditthi belum dapat dipatahkan.

Bilamana seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian dapat melenyapkan kesesatan ini, maka ia akan melihat kesunyataan dalam keadaan yang semurni-murninya dan tidak dicampur adukkan oleh anggapan-anggapan tentang masa lampau dan masa mendatang. Sang Buddha menamakan orang suci yang demikian itu sebagai “akappiyo” atau “ Yang telah bebas dari belenggu Kappa atau waktu”.

Didalam kitab Brahmajala Sutta pada Digha Nikaya. ketika menunjukkan sebab-sebab kekeliruan dari 62 teori-teori palsu, Sang Buddha menjelaskan bahwa semua kekeliruan itu disebabkan oleh karena ada kesesatan pandangan tentang “pubbanta dan aparanta” atau “dahulu dan kemudian”.  

Begitu pula didalam kitab Milindapanha, dimana Raja Milinda bertanya kepada Bihkkhu Nagasena : Bhante, apakah yang menimbulkan waktu?”.

Jawab bhikkhu Nagasena : “ Baginda, ketidak-tahuanlah yang menimbulkan waktu!”.


Jika didalam ajaran agama Buddha, “Waktu” itu bukan merupakan Kesunyataan, maka bagaimanakah dapat menerangkan adanya “Perubahan”?

Apakah perubahan itu dan kapan kita dapat menyadari adanya”perubahan?”
Mari kita lihat seorang bayi yang mungil terbaring di buaiannya, dengan anggota tubuhnya yang sangat kecil dan lemah; sepuluh tahun kemudian, kita melihatnya sebagai seorang anak yang sudah besar, berlari-lari dan berloncat-loncat dengan riang gembiranya, aduhai, betapa banyaknya perubahan yang terjadi atas dirinya! demikianlah, maka anggapan tentang perubahan akan timbul, jika kita mengambil dua saat dalam kehidupan anak itu dan membandingkannya dari yang satu dengan yang lain, dengan mengabaikan samasekali saat-saat yang tidak terhitung banyaknya yang harus dilewatkan anatara dua saat itu. Orang tua anak itu yang lebih kerap melihatnya daripada orang lain, ialah tidak merasakan perubahan itu dengan menyolok. Sedangkan anak itu sendiri, melihat dirinya lebih kerap lagi daripada siapapun juga, tidak merasakan sama sekali adanya perubahan itu. Kecuali bilamana ia mau merenungkan dirinya, dan dalam renungan itu ia membandingkan dua saat dalam kehidupannya, maka barulah ia dapat merasakan sedikit banyak adanya perubahan itu. Demikianlah secara mutlak tidak ada perubahan bagi mereka yang mengenal sedalam-dalamnya akan arus Kesunyataan ini.

Arus Kesunyataan ini mengalir terus bagaikan aliran sebuah sungai, yang dikuasai oeh hukum anicca. Dalam aliran ini tidak ada titik yang dapat dikhayalkan sebagai yang tetap adanya (dalam pikiran), dan yang dapat dibanding-bandingkan, sehingga menimbulkan anggapan tentang adanya “perubahan”. Penghayatan serupa itu merupakan pula suatu keadaan yang Sakkayaditthi.


Catatan  :
·    Bagi makhluk hidup, DUKKHA (TILAKKHANA) itu tidak akan berhenti (sebelum parinibbana), bahkan seorang Arahat (yang masih hidup) masih di cengkeram oleh DUKKHA (TILAKKHANA), itu karena secara fisik & batinnya yang muncul padam itu... TETAPI seorang Arahat telah terbebas dari DUKKA (Ariya Sacca) karena kekotoran batinnya (LDM) sudah di kikis habis (di basmi).

·      Lokuttara Citta itu sudah bersih (tidak ada LDM/kekotoran batin lagi)...Lokuttara Citta itu disebut juga kesadaran di atas atau di luar 3 alam (Kama Bhumi 11, Rupa Bhumi 16  dan Arupa Bhumi 4).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar