ANAK
MUDA DAN HANTU
Pada saat itu Sang Buddha sedang
bersemayam di Vihara Jetavana, Savatthi. Ada seorang pemahat kayu yang
mempunyai seorang anak laki-laki. Mereka tinggal di Rajagaha. Anak pemahat kayu
ini mempunyai seorang teman yang umurnya sebaya, kedua anak itu selalu
menggunakan seluruh waktu luangnya untuk bermain bola.
Pemahat kayu ini adalah pengikut
setia Sang Buddha, demikian pula anaknya. Tetapi teman anak muda itu adalah
anak seorang pertapa. Anak pemahat kayu ini selalu melatih meditasi terhadap
Sang Buddha dalam setiap tindakannya, kalau ia melempar bola ia selalu berkata
:
"Terpujilah Sang Buddha!"
dengan konsentrasi penuh. Tetapi temannya selalu mengucapkan pujian terhadap
para pertapa dan kalau ia melempar bola ia selalu berkata : "Terpujilah
Sang Pertapa".
Ketika mereka bermain bola, anak
pemahat kayu yang setia kepada Sang Buddha selalu menang dan sebaliknya anak
pertapa itu selalu kalah. Anak pertapa itu lalu memperhatikan kelakuan
temannya, ia lalu berpikir :
"Temanku ini selalu
mempraktekkan segala sesuatunya dalam bentuk meditasi, ia selalu mengucapkan
kata-kata itu bila ia melempar bola. Apa yang dia lakukan selalu lebih baik
dari pada saya. Ah, saya ingin mengikuti nya." Sejak saat itu ia mulai
membiasakan dirinya untuk melatih meditasi terhadap Sang Buddha.
Pada suatu hari, si pemahat kayu
menyiapkan kereta yang dihela oleh seekor sapi untuk mengambil kayu bakar di
hutan. Ia mengajak anaknya untuk ikut bersamanya. Dalam perjalanan pulang,
setelah selesai mengambil kayu bakar di hutan, di pinggir sebuah kota, ada
sebidang tanah kosong. Disana terdapat air yang dapat digunakan untuk minum,
jadi ia melepaskan sapinya untuk minum. Mereka sendiri melepaskan lelah sambil
menghabis kan perbekalan makanan mereka.
Ketika malam tiba, ternyata sapi
mereka mengikuti sekawanan binatang yang memasuki kota. Dengan membawa
keretanya, anak muda itu mencari sapinya yang hilang. Setelah menemukan
sapinya, ia hendak pulang dan keluar dari kota itu. Namun ternyata ia tidak
menemukan pintu kota. Pintu kota sudah ditutup. Karena hari sudah menjelang
tengah malam dan ia sangat lelah, akhirnya anak muda itu berbaring di bawah
keretanya dan tertidurlah ia.
Pada waktu itu, penduduk Rajagaha
sedang dicengkeram ketakutan karena ada beberapa hantu yang selalu mengganggu
ketentraman mereka. Tanah yang ditempati anak muda itu, adalah tempat
hantu-hantu itu berkumpul. Ketika anak muda tertidur di sana, dua hantu
melihatnya. Salah satu dari hantu itu mempunyai pandangan salah dan hantu yang
lain mempunyai pandangan kolot. Hantu yang mempunyai pandangan salah itu
berkata kepada temannya : "Orang
ini mangsa kita, mari kita makan!"
Hantu kolot itu menjawab : "Cukup! Buang jauh-jauh pikiran jelekmu
itu!"
Sebaliknya, hantu yang kolot itu
malah menjaga anak muda tersebut. Tetapi temannya yang berpandangan salah tidak
dapat menerima kata-katanya, ia lalu memegang kaki anak muda itu dan mencoba
untuk melemparkannya.
Sebagaimana latihan meditasi yang
selalu dipraktekkannya, ketika kakinya dipegang, anak muda itupun berteriak
: "Terpujilah Sang Buddha"
Hantu-hantu itu amat kaget, mereka
ketakutan dan mundur ke belakang. Hantu yang kolot itu berkata : "Kita
telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak kita lakukan. Kita harus
menerima hukumannya."
Setelah berkata demikian, hantu
yang kolot itu berjaga-jaga di sekitar anak muda itu. Hantu yang lain lalu
memasuki kota menuju istana. Ia mengambil piring emas raja dan memenuhinya
dengan makanan dan membawanya kembali ke tempat anak muda itu tertidur. Kedua
hantu itupun melayani anak muda tersebut. Dengan mewujudkan diri sebagai ayah
dan ibunya, mereka membangunkannya, menyediakan makanan dan menyuruhnya makan.
Dengan kekuatan gaib yang
dimilikinya sebagai hantu, mereka menulis surat di atas piring emas raja,
menceritakan apa yang telah mereka lakukan dengan berkata : "Hanya rajalah
yang dapat membaca kata-kata di atas piring ini. Orang lain tidak dapat
membacanya."
Mereka meletakkan piring tersebut
di dalam kereta anak muda itu, dan berjaga-jaga di sekitar tempat itu. Ketika
menjelang pagi mereka pun pergi.
Pagi harinya beredar berita :
"Piring Raja hilang dicuri orang. Cari pencurinya!"
Pintu kota segera ditutup, dan para
penduduk pun mencari piring itu ke pelosok kota. Tetapi mereka tidak dapat
menemukannya. Mereka terus mencari. Ke luar kota, kemana saja, dan akhirnya
piring Raja itu ditemukan di dalam kereta kayu si anak muda.
Anak muda itu ditahan, ia dituduh
sebagai pencuri piring emas raja. "Inilah pencurinya!"
Mereka membawa anak muda itu ke
istana, menghadap raja. Ketika raja membaca surat yang ditulis oleh hantu di
atas piring itu, ia bertanya kepada anak muda itu : "Anakku, apa artinya
ini?"
"Saya tidak tahu, Yang
Mulia," jawab anak itu.
"Ibu dan ayah saya datang tadi
malam. Mereka membawakan saya makanan dan berjaga-jaga di sekitar saya. Saya
pikir 'Ayah dan ibu saya ini pasti melindungi saya dari kejahatan, membebaskan
saya dari ketakutan', sehingga saya tertidur. Hanya itu yang saya tahu,
Tuanku."
Pada saat itu pula, ayah dan ibu
anak muda itu datang ke istana. Ketika Raja mendengar apa yang telah terjadi,
ia membawa ketiganya pergi bersamanya menghadap Sang Buddha, dan menceritakan
seluruh kejadian itu.
"Yang Mulia," tanya raja,
"Apakah meditasi kepada Sang Buddha merupakan suatu perlindungan? Ataukah
meditasi kepada AjaranMu dan bentuk-bentuk meditasi lainnya juga merupakan
perlindungan?"
Sang Buddha menjawab : "Yang
Mulia Raja, meditasi kepada Buddha bukan hanya berarti perlindungan saja.
Tetapi siapa saja yang melatih meditasi dengan disiplin, melatih salah satu
diantara Enam Bentuk Meditasi, ia tidak lagi memerlukan perlindungan lainnya
atau mencari pertahanan dari serangan-serangan luar."
Setelah berkata demikian, Sang Buddha lalu menjelaskan Enam
Bentuk Meditasi dengan mengucapkan syair-syair ini :
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka selalu merenungkan
sifat-sifat
mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
7 )
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka selalu merenungkan
sifat-sifat
mulia Dhamma dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
8 )
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka selalu merenungkan
sifat-sifat
mulia Sangha dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
9 )
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka selalu merenungkan
sifat-sifat
badan jasmani dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
10 )
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka bergembira
dalam
keadaan bebas dari kekejaman."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
11 )
"Para
siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar,
sepanjang
siang dan malam mereka bergembira
dalam
ketentraman samadhi."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no.
12 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar