Minggu, Januari 13, 2013

Dhammapada XIV: 182- Kisah Raja Naga Erakapatta


KISAH RAJA NAGA ERAKAPATTA
 Dhammapada XIV: 182


Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah satu kehidupannya yang lampau selama masa Buddha Kasapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena gelisah (kukkucca) ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil selama itu, dan ia terlahir sebagai seekor naga. Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha baru. Erapkapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan ia memanfaatkannya untuk tujuan menemukan Sang Buddha. Ia membuat putrinya terkenal sehingga siapapun yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, Erakapatta membuat putrinya menari di udara terbuka dan mengumandangkan pertanyaan-pertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.

Suatu hari, Sang Buddha melihat seorang pemuda yang bernama Uttara dalam pandangan-Nya. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Erakapatta, sang naga. Pada saat itu si pemuda telah siap dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Erakapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun, Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan bagi manyak makhluk.

Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut:

1.    Siapakah penguasa?
2.    Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral dapat disebut sebagai seorang penguasa?
3.    Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran moral?
4.    Orang yang seperti apakah yang disebut tolol?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1.    Ia yang mengontrol keenam indera adalah seorang penguasa.
2.    Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
3.    Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
4.    Seseorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut tolol.

Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, dan kebodohan, dan bagaimana mereka ditanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Ketika Erakapatta mendengar jawaban-jawaban ini ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir bahwa kesalahan kecil yang telah diperbuatnya akan menggagalkan usaha pembebasan dirinya, akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.

Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 182 berikut:

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.

Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar