KISAH PUTRA SEORANG
PENJAGAL
Dhammapada XVIII: 235-236-237- 238
Suatu ketika di Savatthi, ada seorang pria yang
menjadi penjagal ternak selama dua puluh lima tahun. Selama itu, ia menyembelih
ternak dan menjual dagingnya, dan setiap hari ia makan nasi dengan kari daging.
Suatu hari, ia memberikan sedikit daging kepada istrinya agar dimasak untuk
keluarga mereka, kemudian ia pergi mandi ke tepi sungai.
Saat penjagal itu pergi, seorang teman membujuk
istrinya untuk menjual sekerat daging tadi kepadanya. Akibatnya tidak ada kari
daging untuk si penjagal pada hari itu. Karena ia tidak pernah makan tanpa kari
daging, maka si penjagal bergegas pergi ke belakang rumah, dimana terdapat
seekor sapi jantan. Ia memotong lidah sapi jantan tersebut dan memegangnya di
atas api. Ketika malam, si penjagal menggigit lidah sapi jantan tersebut,
tetapi bersamaan dengan itu lidahnya sendiri tergigit putus dan jatuh ke atas
piring nasi. Jadi sapi jantan dan si penjagal mengalami penderitaan yang sama,
sama-sama terpotong lidahnya.
Si penjagal mengalami kesakitan dan penderitaan yang
teramat sangat, dan ia merangkak kesana kemari, dengan banyak darah bercucuran
dari mulutnya. Kemudian penjagal tersebut meninggal dan terlahir kembali di
alam Neraka Avici (Niraya Avici).
Istri si penjagal merasa sangat gelisah dan ia
menginginkan putranya pindah ke tempat tinggal yang lain, agar kemalangan tidak
menimpa dirinya pula. Maka ia mengirimkan putranya ke Taxila. Di Taxila, putra
si penjagal mempelajari seni dari seorang pandai emas. Kemudian, ia menikahi
putri gurunya dan mempunyai beberapa orang anak. Ketika anak-anak mereka sudah
dewasa, ia kembali ke Savatthi. Anak-anaknya menganut ajaran Buddha dan telah
meningkat keyakinannya. Mereka mengkhawatirkan ayah mereka, yang telah menjadi
tua tanpa pernah memikirkan Dhamma maupun kehidupannya yang akan datang.
Maka pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha
dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk menerima dana makanan.
Setelah bersantap, mereka berkata kepada Sang Buddha,
"Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami.
Berikanlah khotbah secara khusus padanya".
Sang Buddha berkata, "Murid-Ku! Engkau telah
menjadi tua, tapi engkau belum membuat persiapan kebajikan untuk perjalananmu
pada kelahiran berikutnya, sekarang engkau sebaiknya mencari penolong bagi
dirimu sendiri".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
235, 236, 237 dan 238 berikut ini:
Sekarang ini engkau bagaikan daun
mengering layu.
Para utusan raja kematian (Yama) telah
menantimu.
Engkau telah berdiri di ambang pintu
keberangkatan,
namun tidak kaumiliki bekal untuk
perjalanan nanti.
(235)
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan
dirimu bijaksana.
Setelah membersihkan noda-noda dan bebas
dari nafsu keinginan,
maka engkau akan mencapai alam kedamaian
para Ariya.
(236)
Sekarang kehidupanmu telah mendekati
akhir,
dan engkau telah mulai berjalan ke
hadapan raja kematian (Yama).
Tidak ada tempat berhenti bagimu di
perjalanan,
sedangkan engkau belum memiliki bekal
untuk perjalananmu.
(237)
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri.
Berusahalah sekarang juga dan jadikan
dirimu bijaksana.
Setelah memberisihkan noda-noda dan
bebas dari nafsu keinginan,
maka kelahiran dan kematian tidak akan
datang lagi padamu.
(238)
Ayah pemberi dana makanan (yaitu putra si penjagal)
mencapai tingkat kesucian anagami setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar