Senin, November 05, 2012

Praktik Dhamma Bertentangan Dengan Kebiasaan-Kebiasaan Kita


PRAKTIK DHAMMA
BERTENTANGAN DENGAN KEBIASAAN-KEBIASAAN KITA
Oleh : Ajahn Chah

Praktek Dhamma bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan kita, kebenaran bertentangan dengan keinginan-keinginan kita, sehingga ada kesukaran dalam kita berlatih Dhamma. Beberapa hal yang kita mengerti sebagai salah mungkin saja benar, sedangkan hal-hal yang kita terima kebenarannya barang kali salah. Mengapa demikian? Karena pikiran kita berada dalam kegelapan, sehingga kita tidak melihat kebenaran dengan jelas. Kita tidak tahu apa-apa dan begitu saja dibodohi oleh pendapat orang lain. Mereka mengatakan yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah, dan kita mempercayainya. Itu karena kita belum menjadi yang empunya diri sendiri. Suasana hati kita membohongi kita terus menerus. Kita tidak dapat menjadikan pikiran dan pendapat-pendapat kita sebagai pedoman, karena kita belum mengetahui kebenaran.

Orang yang Bijaksana

Sementara orang tidak ingin mendengarkan pendapat orang lain sama sekali. Ini pun bukan jalan seorang yang bijaksana. Orang bijaksana akan mendengar semuanya. Ia yang mendengarkan Dhamma mesti mendengarkan semuanya, terlepas dari rasa suka atau tidak suka, dan tidak begitu saja percaya atau tidak percaya. Ia harus berdiam di tengah-tengah, tapi sadar sepenuhnya. Ia hanya mendengarkan dan kemudian merenungkan, serta bertindak tepat.

Seorang bijaksana akan merenungkan dan melihat sebab dan akibat bagi dirinya sendiri sebelum ia mempercayai apa yang ia dengar. Bahkan jika Sang guru mengutarakan kebenaran, jangan langsung percaya begitu saja, karena anda belum mengetahui kebenaran itu sendiri secara langsung.  

Begitu pula bagi kita semua, termasuk saya sendiri. Saya telah berlatih lebih dahulu daripada anda, saya telah menyaksikan banyak kebohongan sebelumnya. Contohnya,"Latihan ini sangat sulit, betul-betul sulit." Mengapa latihan ini sulit? Itu karena kita berpikiran keliru, kita memiliki pandangan keliru.

Sebelumnya saya berdiam bersama banyak Bhikkhu, tapi saya merasa tidak betah. Saya lari ke hutan dan gunung-gunung, menjauhkan diri dari orang banyak , para bhikkhu maupun samanera. Saya menganggap mereka tidak seperti saya, latihan mereka tidak sekeras yang saya lakukan. Mengapa cengeng? Orang ini begini, orang itu begitu. Hal mana benar-benar membuat saya kacau, membuat saya lari dan berlari terus. Tapi hidup sendiri atau bersama-sama dengan yang lain sama tidak tenangnya buat saya. Sendirian saya tidak puas, dalam kelompok saya tidak puas. Saya pikir ketidakpuasan ini tergantung pada rekan-rekan, tergantung suasana hati saya, tergantung tempat tinggal saya, makanan, cuaca, tergantung ini dan itu. Saya terus mencari sesuatu yang dapat mencocoki pikiran saya.

Saya adalah Bhikkhu Dhutanga. Saya mengembara tapi segalanya tetap tidak beres, kemudian saya merenung, "Apa yang dapat saya lakukan?" Hidup bersama banyak orang saya tidak puas, dengan sedikit orang pun saya tidak puas. Mengapa demikian? Saya tidak tahu. Mengapa saya tidak puas? Karena saya memiliki pandangan keliru, karena saya masih melekat pada Dhamma yang keliru, kemanapun saya pergi pikiran saya selalu dipenuhi ketidakpuasan.  

"Ini tidak baik, itu jelek." Begitu terus-menerus. Saya menyalahkan orang lain, menyalahkan cuaca, terlalu panas atau terlalu dingin, saya menyalahkan segala sesuatu! Seperti anjing gila saja menggigit apapun yang dijumpai. Bila pikiran kita seperti ini latihan kita tidak akan pernah beres. Hari ini merasa mantap, besok tidak. Seperti itu, dari waktu ke waktu. Kita tidak dapat mencapai kepuasan atau ketenangan.

Ketidakpuasan kita terletak pada pandangan salah.

Pada suatu saat sang Buddha melihat seekor serigala, berlari keluar dari hutan tempat Beliau berada. Ia berdiri sebentar, kemudian lari kedalam semak belukar, tapi kemudian lari keluar lagi. Lalu ia memasuki lubang pohon dan keluar lagi. Masuk ke dalam gua, tapi lalu keluar lagi. Berdiri satu menit, berlari, berbaring, melompat. Rupanya anjing hutan itu punya penyakit kudis! Ketika ia berdiri, kuman kudis menggigit kulitnya. Jadi ia lari. Berlari masih tidak menyenangkan, maka ia berhenti. Diapun menderita, ia merebahkan diri. Selanjutnya ia melompat lagi, berlari masuk ke dalam semak belukar, ke dalam lubang pohon, tak pernah tahan berdiam agak lama.

Malamnya Buddha bersabda, "O para Bhikkhu, apakah kalian melihat seekor serigala tadi sore? Berdiri ia menderita, berlari ia menderita. Di dalam semak belukar, dalam lubang pohon dan dalam gua, ia menderita, ia menyalahkan berdiri karena tidak menyenangkan, ia menyalahkan duduk, ia menyalahkan berlari, serta berbaring; ia menyalahkan pohon, semak-semak dan gua. Padahal, masalahnya bukan terletak pada benda-benda ini…Serigala itu punya penyakit kudis. Masalahnya adalah penyakit kudis itu."

Kita bhikkhu-bhikkhu sama dengan serigala itu. Ketidakpuasan kita terletak pada pandangan salah. Karena kita tidak berlatih mengendalikan indera, kita menyalahkan penderitaan kita pada hal-hal di luar kita. Apakah kita tinggal di Wat Pah Pong, di Amerika, atau di London, kita tetap tidak puas. Pergi menetap di Bung Wai atau vihara-vihara yang lain kita masih tidak puas. Mengapa demikian? Karena kita masih memiliki pandangan keliru, hanya itu! Kemanapun kita pergi kita tidak merasa puas.

Seperti serigala itu, bila penyakit kudisnya diobati, akan merasa enak kemanapun ia pergi, begitu juga dengan kita. Saya sering merenungkan hal ini, dan saya sering mengajarkan anda hal ini, karena sangat penting. Bila kita mengetahui hakikat suasana hati, kita yang beraneka ragam kita akan mencapai kepuasan. Dingin atau panas kita tetap puas. Kepuasan tidak tergantung pada berapa banyak orang disekeliling kita, ia datang dari pandangan benar. Bila kita memiliki pandangan benar, dimanapun kita tinggal kita akan puas.

Tapi kebanyakan dari kita miliki padangan keliru. Seperti seekor ulat! Tempat tinggal ulat adalah sampah. Makannya kotoran, tapi itu sesuai untuk ulat itu. Bila anda mengambil kayu dan menyingkirkannya dari tumpukan kotoran, ia akan meronta dan merayap kembali ke tempat asalnya. Begitupun halnya ketika kita mendengar ajaran tentang pandangan benar. Kita menentangnya, karena ia membuat kita merasa tidak nyaman. Kita lari kembali pada "tumpukan kotoran" karena disana kita merasa nyaman. Kita menyukainya. Bila kita tidak melihat akibat-akibat yang berbahaya dari pandangan keliru, kita tidak dapat melepaskan mereka, latihan menjadi sangat sulit, karenanya kita harus mendengarkan.

Bila kita mempunyai pandangan benar,dimana pun kita berada kita akan merasa puas. Saya telah mengalaminya. Akhir-akhir ini banyak bhikkhu, samanera dan orang awam datang menemui saya. Bila saya masih belum sadar, masih memiliki pandangan keliru, saya bisa mati sekarang juga!. Tempat perlindungan yang tepat bagi para bhikkhu, tempat yang nyaman, adalah pandangan benar itu sendiri. Kita tidak usah mencari yang lain.

  
** Di Cuplik dari Hal 48-51 Jalan Menuju Kebebasan

-oOo-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar