Jumat, November 09, 2012

Adakah Manfaat Dari Tangisan?


ADAKAH MANFAAT DARI TANGISAN ?


Seperti halnya kekhawatiran, ratap tangis tidak bermanfaat samasekali. Adalah hal yang alamiah jika seseorang menangis karena kehilangan mendadak sanaksaudara atau orang yang dicintai, itu tidak perlu disalahkan. Bahkan bhikkhu Ananda juga menangis ketika Buddha Parinibbana. Namun sekarang ini banyak orang yang menangis dan menunjukkan kesedihan berlebihan untuk menarik iba orang lain. Ketika mendengar kemurungan, kesedihan, dan tangisan, seseorang juga menjadi sedih dan pudarlah semua kebahagiaan.

Jadi, melihat dampak kesedihan dan derai tangis orang lain, seseorang tidak perlu ikut-ikutan merasa sedih. Derai air mata menunjukkan bahwa seseorang kurang mampu mengendalikan diri. Meskipun jika seseorang harus menangis karena kesedihan, dia seharusnya melatih pengendalian diri dan mencoba cepat-cepat menghapus air matanya. Seseorang dapat menundukkan ratap tangis dengan mengambil teladan dari orang-orang suci yang telah menjauhkan diri dari berbagai dukacita karena kehilangan. Kita bisa mendapatkan penghiburan dengan cara merenungkan samvega, yaitu suatu desakan letih terhadap penderitaan yang dihadapinya.  

Bagaimana Bodhisatta Menghibur Dirinya?
Dalam salah satu kehidupan, Bodhisatta bersama dengan pendampingnya (bakal Yasodhara), setelah meninggalkan kekayaan yang melimpah, mereka menjadi petapa dan tinggal di sebuah hutan. Sang petapa wanita sangat menawn, dan penampilannya yang selalu tampak riang banyak memikat dan mengundang hormat orang-orang yang melihatnya.

Setelah beberapa waktu tinggal di hutan, petapa wanita itu menjadi lemah dan sakit-sakitan karena ia hanya makan buah-buahan mentah dan makanan derma alih-alih makanan bergizi yang biasa dia makan selaku orang kaya. Dia menderita disentri dan menjadi sangat lemah. Bodhisatta membantu memapahnya sampai pintu gerbang desa, dengan lemah dia beristirahat di pinggir jalan sementara Bodhisatta pergi untuk mengumpulkan makanan (pindapata) di desa. Petapa itu meninggal sebelum Bodhisatta kembali dari desa.  ketika penduduk melihat mayat tergeletak di pinggir jalan, meskipun mereka bukan sanak saudaranya, mereka semua meratap karena menemukan petapa wanita itu telah tiada. Kemudian mereka mempersiapkan upacara kremasi untuknya.

Sementara itu Bodhisatta baru saja pulang dari desa dan melihat sesuatu telah hilang darinya, sesuatu yang sangat besar. Alih-alih menunjukkan dukacita mendalam dan derai tangis, dia hanya duduk disamping mayat mantan istrinya dan menyantap sarapan paginya. Dia sangat tenang dan sabar, sementara orang-orang lain mencucurkan air mata dan meratap sedih. setelah menyelesaikan sarapannya, dia membabarkan sebuah ceramah mengenai apa yang mereka hadapi, untuk menghapus ratapan (parideva) yang membakar hati mereka.

Mallika, Istri Seorang Jenderal
Cerita menarik lainnya adalah tentang Mallika, istri Jenderal Bandhula. Pada masa pemerintahan Raja Kosala, pasangan ini mempunyai enam belas anak kembar (jadi tiga puluh dua putra). Mereka bersama teman-temannya selalu datang ke istana untuk menghadiri pertemuan.

Melihat pengikut mereka yang banyak, beberapa menteri merasa iri hati dan mengarang sebuah cerita kepada yaja. Mereka mengatakan kepada raja bahwa suatu hari Bandhula dan putra-putranya akan bersekongkol untuk memberontak melawan raja. Karena raja kurang cendekia dan bijaksana, dengan mudahnya raja percaya pada hasutan menteri-menteri itu. Kemudian raja memerintahkan orang-orangnya untuk menyiasati Bandhula dan putra-putranya untuk masuk ke sebuah rumah dan membakar mereka hidup-hidup. Orang-orang suruhan raja membunuh mereka semua dalam rumah yang dibakar itu.

Hari berikutnya, ketika Mallika sedang akan mempersembahkan dana makanan kepada Bhikkhu Sariputta dan para Bhikkhu pengikutnya, berita buruk itu datang. Mallika tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda kesedihan sedikitpun. tentu saja itu suatu kehilangan yang sangat besar, tetapi Mallika tidak menunjukkan kesedihan sedikit pun dan meneruskan perbuatan baiknya.

Catatan : dari kedua contoh diatas, dalam kasus petapa Bodhisatta, bukan hal yang aneh jika ia bersikap demikian karena ia telah memenuhi parami dalam setiap kehidupannya. Dia telah memiliki kematangan moral yang memadai untuk mengendalikan dirinya.  

Namun dalam kasus Mallika, kita harus meneladani kemuliannya. Dia adalah kaum wanita yang lemah, tetapi dia masih mampu mengendalikan dirinya dengan pikiran baik akan perbuatan baik yang ada ditangannya. Dalam hidup, kita harus menghadapi ratusan masalah meskipun kita tidak bisa hidup sampai seratus tahun. Oleh karena itu, setiap orang harus mencoba untuk menundukkan kesakitan dan dukacita, kesedihan dan tangisan dengan berbagai cara. Sebagai contoh, ketika kita berada dalam kesedihan yang luar biasa, kita harus menyikapinya dengan berpikir ,” Seberapa lengkap pemenuhan parami saya?”. Suatu pengalaman kesedihan harus diambil sebagai suatu ujian parami.

(Sumber Buku : Abhidhamma sehari-hari- Ashin Janakabhivamsa)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar