ADAKAH MANFAAT DARI TANGISAN ?
Seperti halnya kekhawatiran, ratap
tangis tidak bermanfaat samasekali. Adalah hal yang alamiah jika seseorang
menangis karena kehilangan mendadak sanaksaudara atau orang yang dicintai, itu
tidak perlu disalahkan. Bahkan bhikkhu Ananda juga menangis ketika Buddha
Parinibbana. Namun sekarang ini banyak orang yang menangis dan menunjukkan
kesedihan berlebihan untuk menarik iba orang lain. Ketika mendengar kemurungan,
kesedihan, dan tangisan, seseorang juga menjadi sedih dan pudarlah semua
kebahagiaan.
Jadi, melihat dampak kesedihan dan
derai tangis orang lain, seseorang tidak perlu ikut-ikutan merasa sedih. Derai
air mata menunjukkan bahwa seseorang kurang mampu mengendalikan diri. Meskipun
jika seseorang harus menangis karena kesedihan, dia seharusnya melatih
pengendalian diri dan mencoba cepat-cepat menghapus air matanya. Seseorang
dapat menundukkan ratap tangis dengan mengambil teladan dari orang-orang suci
yang telah menjauhkan diri dari berbagai dukacita karena kehilangan. Kita bisa
mendapatkan penghiburan dengan cara merenungkan samvega, yaitu suatu desakan
letih terhadap penderitaan yang dihadapinya.
Bagaimana Bodhisatta
Menghibur Dirinya?
Dalam salah satu kehidupan, Bodhisatta
bersama dengan pendampingnya (bakal Yasodhara), setelah meninggalkan kekayaan
yang melimpah, mereka menjadi petapa dan tinggal di sebuah hutan. Sang petapa
wanita sangat menawn, dan penampilannya yang selalu tampak riang banyak memikat
dan mengundang hormat orang-orang yang melihatnya.
Setelah beberapa waktu tinggal di
hutan, petapa wanita itu menjadi lemah dan sakit-sakitan karena ia hanya makan
buah-buahan mentah dan makanan derma alih-alih makanan bergizi yang biasa dia
makan selaku orang kaya. Dia menderita disentri dan menjadi sangat lemah.
Bodhisatta membantu memapahnya sampai pintu gerbang desa, dengan lemah dia
beristirahat di pinggir jalan sementara Bodhisatta pergi untuk mengumpulkan
makanan (pindapata) di desa. Petapa itu meninggal sebelum Bodhisatta kembali
dari desa. ketika penduduk melihat mayat
tergeletak di pinggir jalan, meskipun mereka bukan sanak saudaranya, mereka
semua meratap karena menemukan petapa wanita itu telah tiada. Kemudian mereka
mempersiapkan upacara kremasi untuknya.
Sementara itu Bodhisatta baru saja
pulang dari desa dan melihat sesuatu telah hilang darinya, sesuatu yang sangat
besar. Alih-alih menunjukkan dukacita mendalam dan derai tangis, dia hanya
duduk disamping mayat mantan istrinya dan menyantap sarapan paginya. Dia sangat
tenang dan sabar, sementara orang-orang lain mencucurkan air mata dan meratap
sedih. setelah menyelesaikan sarapannya, dia membabarkan sebuah ceramah
mengenai apa yang mereka hadapi, untuk menghapus ratapan (parideva) yang
membakar hati mereka.
Mallika, Istri Seorang
Jenderal
Cerita menarik lainnya adalah tentang
Mallika, istri Jenderal Bandhula. Pada masa pemerintahan Raja Kosala, pasangan
ini mempunyai enam belas anak kembar (jadi tiga puluh dua putra). Mereka
bersama teman-temannya selalu datang ke istana untuk menghadiri pertemuan.
Melihat pengikut mereka yang banyak,
beberapa menteri merasa iri hati dan mengarang sebuah cerita kepada yaja.
Mereka mengatakan kepada raja bahwa suatu hari Bandhula dan putra-putranya akan
bersekongkol untuk memberontak melawan raja. Karena raja kurang cendekia dan
bijaksana, dengan mudahnya raja percaya pada hasutan menteri-menteri itu.
Kemudian raja memerintahkan orang-orangnya untuk menyiasati Bandhula dan
putra-putranya untuk masuk ke sebuah rumah dan membakar mereka hidup-hidup.
Orang-orang suruhan raja membunuh mereka semua dalam rumah yang dibakar itu.
Hari berikutnya, ketika Mallika sedang
akan mempersembahkan dana makanan kepada Bhikkhu Sariputta dan para Bhikkhu
pengikutnya, berita buruk itu datang. Mallika tetap tenang dan tidak
menunjukkan tanda kesedihan sedikitpun. tentu saja itu suatu kehilangan yang
sangat besar, tetapi Mallika tidak menunjukkan kesedihan sedikit pun dan
meneruskan perbuatan baiknya.
Catatan : dari kedua contoh diatas, dalam kasus
petapa Bodhisatta, bukan hal yang aneh jika ia bersikap demikian karena ia
telah memenuhi parami dalam setiap kehidupannya. Dia telah memiliki kematangan
moral yang memadai untuk mengendalikan dirinya.
Namun dalam kasus Mallika, kita harus
meneladani kemuliannya. Dia adalah kaum wanita yang lemah, tetapi dia masih
mampu mengendalikan dirinya dengan pikiran baik akan perbuatan baik yang ada
ditangannya. Dalam hidup, kita harus menghadapi ratusan masalah meskipun kita
tidak bisa hidup sampai seratus tahun. Oleh karena itu, setiap orang harus
mencoba untuk menundukkan kesakitan dan dukacita, kesedihan dan tangisan dengan
berbagai cara. Sebagai contoh, ketika kita berada dalam kesedihan yang luar
biasa, kita harus menyikapinya dengan berpikir ,” Seberapa lengkap pemenuhan
parami saya?”. Suatu pengalaman kesedihan harus diambil sebagai suatu ujian
parami.
(Sumber Buku : Abhidhamma sehari-hari- Ashin
Janakabhivamsa)
Selanjutnya == > Dukkha dan Domanassa: Penderitaan Jasmani dan Batin
Sebelumnya < == Niat buruk, Duka cita, Penderitaan batin dan Tangisan
Sebelumnya < == Niat buruk, Duka cita, Penderitaan batin dan Tangisan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar