Senin, November 26, 2012

Blackie Sang Nenek


BLACKIE SANG NENEK


Pada suatu waktu di zaman dahulu kala, ketika raja Brahmadatta berkuasa di Benares, hiduplah seorang wanita tua yang mempunyai seekor anak sapi dengan tubuh berwarna gelap. Sesungguhnya, warna anak sapi itu adalah hitam dengan sebuah bintik besar putih. Anak sapi itu ternyata adalah seorang Bodhisattâ–calon Buddha.

Si wanita tua tersebut merawat dan membesarkan anak sapi itu sama seperti beliau merawat anak kandungnya sendiri. Beliau memberinya makanan nasi dan bubur dari bahanbahan terbaik. Beliau sering mengelus kepada dan leher si anak sapi, dan kemudian anak sapi itu menjilati tangan beliau. Mereka berdua menjadi kian akrab, dan orang-orang mulai memanggil si anak sapi dengan nama "Blackie Sang Nenek".

Bahkan setelah si anak sapi tumbuh menjadi seekor banteng besar yang kuat, Blackie masih bersikap sangat jinak dan kalem. Anak-anak di desa sangat senang bermain bersama Blackie. Mereka kerapkali bergelantungan di leher, telinga, dan tanduk Blackie. Mereka juga bahkan suka memegang ekornya dan menaiki punggungnya dan kemudian menunggangi Blackie. Blackie sangat menyukai anak-anak sehingga dia tidak pernah protes ataupun mengeluh.

Sapi yang ramah ini berpikir, "Nenek yang baik, yang telah membesarkanku, sudah seperti ibuku sendiri. Beliau merawatku seperti anaknya sendiri. Beliau hidup miskin dan kesusahan, tapi terlalu sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Beliau tidak tega menyuruhku bekerja. Karena aku juga menyayangi beliau, aku berharap bisa meringankan beban beliau dari kemiskinan."

Maka kemudian, Blackie mulai mencari pekerjaan. Suatu hari, sebuah rombongan yang terdiri dari 500 kereta gerobak datang ke desa. Rombongan itu terhenti di sebuah tepi sungai. Mereka tampaknya sangat kesulitan menyeberangi sungai itu. Banteng-banteng yang menariki gerobak tidak mampu menarik gerobak melewati sungai. Pemimpin rombongan kemudian memindahkan ke-500 ekor pasang banteng ke satu gerobak untuk ditarik. Namun karena medan sungai tersebut sangat berat,  bahkan 500 ekor pasang sapi pun tidak mampu menari satu gerobak.

Dihadapi oleh masalah ini, si pemimpin mulai berusaha mencari banteng-banteng lain. Si pemimpin kebetulan terkenal pandai memilih banteng berkualitas. Pada saat memeriksa kawanan gembala di sekitar desa, dia menemukan Blackie. Saat itu juga dia berpikir, "Banteng yang bersahaja ini kelihatannya punya kekuatan dan potensi untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi sungai."

Kemudian si pemimpin berbicara kepada penduduk yang ada di dekat sana, "Siapa yang memiliki banteng hitam ini? Saya ingin memakainya untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi sungai, dan saya akan membayar pemiliknya untuk jasa banteng itu." Penduduk di sana berkata,"Baiklah, silakan bawa banteng itu. Pemiliknya sedang tidak ada di tempat."

Maka dari itu, si pemimpin mengikatkan sebuah tali ke hidung Blackie. Namun ketika ia menariknya, ia tidak dapat menggerakkan Blackie! Blackie berpikir, "Hanya jika orang ini mengatakan apa yang akan ia bayar untuk kerjaku, baru aku akan bergerak."

Karena sudah terbiasa dengan perangai banteng, si pemimpin dengan cepat dapat mengerti kenapa Blackie tidak mau ditarik. Maka kemudian dia berkata, "Banteng yang baik, setelah kamu menarik 500 gerobakku menyeberangi sungai, saya akan membayarmu dua koin emas untuk setiap gerobak–tidak hanya satu, tapi dua koin!" Mendengar itu, Blackie segera berjalan ke arah sungai bersama si pemimpin.

Kemudian si pemimpin mengikatkan Blackie ke gerobak pertama. Ia mulai mengatur penyeberangan gerobak-gerobak-nya, yang tidak mampu dilakukan seribu banteng sebelumnya. Apa yang terjadi kemudian, Blackie mampu menarik semua gerobak menyeberangi sungai satu persatu, tanpa jeda, dan tanpa perlambatan sedikit pun!

Pada saat semua gerobak sudah menyeberang, si pemimpin menyiapkan bayaran hanya satu koin emas untuk satu gerobak, total 500 koin emas. Kemudian ia menggantungkan kantung yang

berisi koin-koin emas ke leher Blackie. Blackie langsung berpikir, "Laki-laki ini menjanjikan dua koin emas per gerobak, tapi ia hanya memberiku separuhnya saja. Aku tidak akan membiarkannya pergi."  

Kemudian Blackie pergi ke depan kumpulan gerobak, dan menutupi jalan mereka. Si pemimpin mencoba mendorong Blackie untuk minggir, namun Blackie tidak bergerak. Ia mencoba mengambil jalan ke samping. Namun banteng-banteng yang lain sudah melihat betapa kuatnya si Blackie, jadi mereka juga tidak mau bergerak.

Si pemimpin berpikir, "Tidak diragukan lagi, banteng ini sangat cerdas. Ia bisa tahu kalau aku hanya membayarnya separuh dari janjiku." Maka si pemimpin menyiapkan kantung baru berisi seribu koin emas penuh, dan menggantungkannya ke leher Blackie.

Setelah meninggalkan rombongan gerobak dan menyeberangi sungai kembali, Blackie pergi menemui si Nenek, 'ibunya'.

Sepanjang perjalanan pulang, anak-anak di desa mencoba menjamah kantung koin di leher Blackie, namun Blackie dapat lolos.

Ketika si Nenek melihat kantung besar di leher Blackie, beliau terkejut. Anak-anak menceritakan tentang semua yang telah terjadi di sungai. Kemudian beliau membuka kantung itu dan menemukan seribu koin emas di dalamnya.

Si Nenek melihat wajah kelelahan 'anaknya'. Beliau berkata, "Oh anakku, apakah kau berpikir saya berharap hidup dari emas yang kau terima? Mengapa kau berharap untuk bekerja begitu keras dan menderita karenanya? Tidak peduli sesulit apa pun nanti keadaanku, saya akan selalu memperhatikan dan menjagamu."

Kemudian wanita tua yang baik itu memandikan banteng kesayangannya dan memijat punggungnya dengan minyak. Beliau memberinya makanan yang baik dan menjaganya, sampai akhir hidup mereka yang bahagia.


s u m b e r : Grandma's Blackie
Buddhist Tales for Young and Old –http://www.buddhanet.net

-oOo-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar