SANG
BUDDHA, GAJAH DAN MONYET
"Disinilah saya tinggal,
dikelilingi sekumpulan gajah, gajah-gajah betina ,anak-anak gajah dan
gajah-gajah muda. Mereka mengunyah-ngunyah ujung-ujung rumput yang ingin saya
makan, mereka memakan daun-daun dari ranting-ranting pohon yang saya patahkan;
mereka mengeruhkan air minum saya. Ketika saya masuk atau keluar dari sungai,
gajah-gajah betina menggosok-gosokkan badannya ke badan saya. Karena itulah
saya memisah kan diri dari kumpulan gajah-gajah dan lebih baik hidup
sendirian."
Oleh karena itu gajah yang baik
hati ini memisahkan diri dari kumpulannya dan berjalan mendekati Hutan Lindung.
Gajah itu bernama Parileyyaka.
Di dalam Hutan Lindung, Sang
Buddha sedang berdiam seorang diri, menarik gajah itu untuk berjalan menuju
pohon Sala, tempat Sang Buddha duduk.
Setibanya di hadapan Sang Buddha,
gajah itu memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia melihat ke sekeliling, mencari
sapu karena ia ingin membersih kan tempat di sekitar Sang Buddha duduk. Karena
tidak ada sapu, ia mematahkan ranting pohon untuk dijadikan sapu dan
membersihkan tempat itu. Kemudian ia mengambil kendi air dengan belalainya dan
menyiapkan air minum. Apabila dibutuhkan air panas, ia akan menyiapkan air
panas. (Bagaimana mungkin?). Caranya, pertama-tama ia membuat percikan api
dengan menggosok-gosokkan kayu dengan belalainya, kemudian ia menaruh
ranting-ranting pohon di atas percikan api itu, sehingga ia mempu nyai api.
Lalu ia memanaskan batu-batu kecil di dalam api. Digelindingkan nya batu-batu
kecil yang sudah panas itu dengan tongkat ke dalam lekukan. Di atas lubang
kecil di antara batu yang besar, ditaruhnya kendi air. Dengan belalainya, ia
memeriksa, apabila air sudah cukup panas, ia segera menghadap kepada Sang
Buddha. Sang Buddha lalu bertanya :
"Parileyyaka, apakah ini air
panasmu?"
Kemudian Sang Buddha mandi dengan
air panas yang dibuat si gajah. Kemudian Gajah Parileyyaka mencari dan
membawakan buah-buahan segar dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha.
Apabila Sang Buddha masuk ke desa
untuk pindapatta, gajah itu akan membawakan mangkuk dan jubah, yang ditaruh di
atas kepalanya. Dan ia pun mengiringiNya. Ketika Sang Buddha tiba di tepi desa,
Beliau mengam bil mangkuk dan jubahNya dengan berkata :
"Parileyyaka, lebih baik
kamu jangan ikut. Berikanlah mangkuk dan jubahKu."
Sang Buddha memasuki desa, dan si
gajah Parileyyaka tetap menunggu dengan setia sampai Sang Buddha kembali.
Ketika Sang Guru kembali, ia akan menyambut dan membawakan mangkuk serta jubah
seperti yang ia lakukan sebelumnya, menaruhnya di tempat Sang Buddha duduk,
memberi hormat dan mengipas-ngipas dengan ranting pohon supaya Sang Guru merasa
nyaman.
Jika malam tiba, untuk melindungi
Sang Buddha dari binatang buas, ia akan berjaga-jaga dengan belalainya yang
besar, sambil berkata sendiri :
"Saya akan melindungi Sang
Guru."
Ia lalu berjalan bolak balik
sampai pagi hari. (Sejak saat itulah hutan itu disebut "Hutan
Lindung").
Pada pagi harinya, gajah itu lalu
menyiapkan air untuk mencuci muka, sebelum ia melaksanakan tugas-tugasnya yang
lain.
Suatu ketika, seekor monyet
melihat perbuatan yang dilakukan gajah Parileyyaka setiap hari, melaksanakan
tugasnya, melayani Sang Buddha. Ia lalu berkata sendiri : "Saya juga ingin melakukan hal yang
sama."
Pada suatu hari, ketika ia
bergelayutan di antara pepohonan di hutan, ia melihat sarang madu yang telah
ditinggalkan oleh tawon-tawonnya. Ia mengambil sarang madu itu dan menaruhnya
di atas selembar daun dan dipersembahkannya ke hadapan Sang Buddha. Sang Buddha
mengambilnya.
Monyet itu memperhatikan, apakah
Sang Guru makan sarang madu itu atau tidak. Ia memandangi Sang Guru yang
setelah mengambil sarang madu itu, lalu meletakkannya kembali, sambil tetap
berdiam diri.
"Apa yang terjadi?"
pikir monyet itu.
Ia mengambil tongkat kecil,
sarang madu itu diambilnya dan diperhatikan dengan seksama. Dengan
membolak-balikkannya, ia memperhatikan kemba li dengan teliti. Ternyata di
dalam sarang madu banyak terdapat telur-telur serangga. Ia kemudian mengeluarkan
telur-telur itu dengan hati-hati sekali. Setelah benar-benar bersih,
dipersembahkannya kembali sarang madu itu kepada Sang Buddha. Maka, Sang Buddha
berkenan menyantap sarang madu itu.
Si monyet amat bahagia melihat
Sang Buddha makan sarang madu yang dipersembahkannya. Ia meloncat-loncat di
antara cabang-cabang pohon, dan menari-nari dengan gembira. Tiba-tiba cabang
pohon yang dipegangnya itu patah, sehingga ia jatuh dan tertimpa batang pohon
itu. Ia pun mati.
Tetapi karena perbuatan baik yang
telah dilakukannya kepada Sang Buddha, ia terlahir kembali di Alam Surga.
Di Kota Savatthi, Jutawan
Anathapindika, Ibu Visakha, para pengikut setia Sang Buddha dan orang-orang
penting lainnya mengirimkan pesan kepada Bhikkhu Ananda.
"Yang Mulia, kami ingin
sekali bertemu dengan Sang Guru."
Lima ratus bhikkhu yang datang
dari berbagai daerah datang menemui Bhikkhu Ananda, yang ketika itu sedang
musim hujan, mereka juga mengajukan permohonan :
"Saudaraku Ananda, telah
lama sekali kami mendengarkan Dhamma dari Sang Guru sendiri. Sekarang kami
ingin sekali bertemu dengan Sang Guru Agung kita, untuk mendengarkan Ajaran
dari Beliau sendiri."
Bhikkhu Ananda mengajak para
bhikkhu itu bersama-sama menuju Hutan Lindung. Ketika mereka telah mencapai
tepi hutan, Bhikkhu Ananda berpikir :
"Sang Guru sedang hidup menyendiri selama tiga bulan ini. Jadi
belum tentu tepat apabila saya mengajak para bhikkhu ini untuk
mengunjungiNya." Maka, Bhikkhu
Ananda masuk ke dalam Hutan Lindung itu seorang diri, meninggalkan kelima ratus
bhikkhu itu di tepi hutan dan menghadap Sang Buddha terlebih dahulu.
Gajah Parileyyaka melihat ada
seorang bhikkhu datang menghampiri Sang Buddha. Ia segera mengambil tongkat dan
menyerbu ke Bhikkhu Ananda. Sang Buddha yang melihatnya, berkata :
"Kembalilah Parileyyaka,
jangan mengusirnya. Ia adalah murid seorang Buddha."
Gajah itu membuang tongkatnya dan
memohon ijin untuk membawakan mangkuk dan jubah Bhikkhu Ananda. Tetapi Bhikkhu
Ananda menolaknya.
Gajah itu lalu berpikir : "Apabila ia betul-betul mengetahui sopan
santun, ia tidak akan menaruh segala keperluan miliknya di tempat Sang Guru
duduk."
Bhikkhu Ananda lalu menaruh
mangkuk dan jubahnya di tanah. (Untuk yang mengetahui peraturan, seorang
bhikkhu tidak diperkenankan menaruh keperluan-keperluan miliknya sendiri di
tempat duduk atau tempat tidur Gurunya). Setelah memberi hormat, Bhikkhu Ananda
duduk di salah satu sisi. Sang Buddha bertanya :
"Ananda, apakah kamu datang
sendiri?"
Bhikkhu Ananda menjelaskan bahwa
ia datang bersama lima ratus bhikkhu. Sang Buddha bertanya :
"Di manakah mereka
berada?"
"Di tepi hutan, Yang Mulia."
"Saya tidak mengerti
bagaimana perasaanmu meninggalkan saudara-saudaramu di tepi hutan dan datang
seorang diri. Ajaklah mereka masuk."
Bhikkhu Ananda mentaati perintah
Sang Buddha. Ia menjemput ke lima ratus bhikkhu itu masuk ke dalam Hutan Lindung.
Sang Buddha menyambut ke lima
ratus muridNya dengan gembira. Setelah memberi hormat, para bhikkhu itu berkata
:
"Yang Mulia, Yang Maha
Sempurna adalah seorang Buddha yang penuh dengan kelembutan dan penuh dengan
cinta kasih. Amatlah sulit hidup di hutan ini seorang diri selama tiga bulan.
Lagipula tidak ada seorangpun yang melayani semua kebutuhan Yang mulia. Tidak ada
yang menyediakan air mandi atau menyediakan kebutuhan-kebutuhan lainnya."
Sang Buddha menjawab :"Para
bhikkhu, gajah Parileyyaka ini yang melayani semua kebutuhanKu. Apabila
seseorang yang telah memperoleh pengalaman hidup berkelompok, dan tidak cocok
untuk hidup di dalam kelompoknya, kadang-kadang lebih baik baginya untuk hidup
seorang diri."
Setelah berkata demikian, Sang
Buddha lalu mengucapkan tiga syair :
"Apabila
dalam pengembaraanmu
engkau
dapat menemukan seorang sahabat
yang
berkelakuan baik, pandai dan bijaksana,
maka
hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati
dan
penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya."
(
Dhammapada, Naga Vagga no. 9 )
"Apabila
dalam pengembaraanmu
engkau
tidak menemukan seorang sahabat
yang
berkelakuan baik, pandai dan bijaksana
maka
hendaknya engkau berjalan seorang diri,
seperti
seorang raja yang meninggalkan negara yang telah dikalahkannya,
atau
seperti gajah yang mengembara seorang diri di dalam hutan."
(
Dhammapada, Naga Vagga no. 10 )
"Lebih
baik mengembara seorang diri,
dan
tidak bergaul dengan orang bodoh.
Pergiah
seorang diri dan jangan berbuat jahat;
hiduplah
dengan bebas (tidak banyak kebutuhan),
seperti
seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan."
(
Dhammapada, Naga Vagga no. 11 )
Pada akhir syair ke tiga, ke lima
ratus bhikkhu itu mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi menjadi Arahat.
Bhikkhu Ananda lalu menyampaikan
pesan-pesan dari Jutawan Anathapindika, Ibu Visakha dan umat-umat lainnya,
dengan berkata :
"Yang Mulia, lima puluh juta
umat Yang Mulia yang dipimpin oleh Anathapindika mengharapkan Anda
kembali."
"Baiklah," kata Sang
Buddha, "Ambillah mangkuk dan jubah."
Bhikkhu Ananda serta para bhikkhu
lainnya mengambil mangkuk dan jubah, lalu pergi keluar. Gajah Parileyyaka pergi
dan berdiri di tengah jalan.
"Yang Mulia, apa yang gajah
itu perbuat?"
"O Para Bhikkhu, ia ingin
berdana kepada kalian. Sudah cukup lama ia melayaniKu, janganlah melukai
hatinya. Kembalilah!", Sang Buddha beserta murid-muridNya balik kembali.
Gajah itu lalu masuk ke dalam
hutan, kembali dengan membawa pisang dan buah-buahan lainnya, mempersembahkannya
kepada para bhikkhu. Kelima ratus bhikkhu itu tidak dapat menghabiskan
buah-buahan yang dipersembah kan gajah
itu.
Selesai makan, Sang Buddha
mengambil mangkuk dan jubahNya. Beliau melangkah keluar, diikuti oleh
murid-muridNya. Gajah Parileyyaka lalu menyelinap di antara para bhikkhu yang
sedang berjalan, kemudian di depan Sang Buddha dan para bhikkhu, ia berdiri menghalangi
jalan.
"Yang Mulia, apa yang
dilakukannya?"
"Para Bhikkhu, berjalanlah
terus. Ia ingin Aku kembali."
Sang Buddha lalu berkata :
"Parileyyaka, Aku pergi
sekarang, tidak akan kembali lagi. Kamu tidak da pat mengharapkan pada kehidupanmu
yang sekarang ini dapat memperoleh Pandangan Terang, melaksanakan Jalan Tengah
ataupun mencapai Tingkat Kesucian. Berhentilah!"
Ketika gajah itu mendengar
kata-kata Sang Buddha, ia memasukkan belalai ke dalam mulutnya. Ia mundur
perlahan-lahan dan menangis, sambil tetap mengikuti Sang Buddha yang terus
berjalan keluar hutan. (Dapatkah ia membuat Sang Buddha kembali, sehingga ia
dapat melayaninya sampai di akhir hidupnya?)
Ketika Sang Buddha telah sampai
di tepi desa, Beliau berkata :
"Parileyyaka, kalau kamu
mengikutiKu lebih jauh lagi, tidak aman untukmu sendiri, kehidupan manusia amat
berbahaya untukmu. Berhentilah!"
Gajah itu berhenti berjalan, ia
menangis sambil memandangi kepergian Sang Buddha. Ketika Sang Buddha hilang
dari pandangannya, karena amat sedihnya, iapun mati. Tetapi karena perbuatan
baik yang telah dilakukannya dengan melayani Sang Buddha, ia terlahir kembali
di Alam Surga, bernama Dewa Parileyyaka.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar