Rabu, Desember 05, 2012

Apakah Kebahagiaan Itu ?


APAKAH KEBAHAGIAAN ITU ?
Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda
Judul Asli:
WHAT IS HAPPINESS?
Ir. Shirley (alih-bahasa)


Apakah kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah suatu keadaan mental yang dapat dicapai melalui pengembangan pikiran. Sumber-sumber phisik seperti kekayaan, nama baik, kemashuran, kedudukan sosial dan kepopuleran hanya merupakan sumber kebahagiaan yang sementara. Apapun yang kita lakukan, pada pokoknya kita lakukan demi kebahagiaan.

 Anda dapat mengatakan bahwa anda melakukannya demi uang, demi kekuasaan, namun apa yang kita lakukan sesungguhnya adalah demi kebahagiaan. Bahkan dalam beragama apa yang kita lakukan adalah demi kebahagiaan. Dengan demikian apapun yang kita lakukan terutama kita lakukan demi kebahagiaan, namun apakah kita berhasil mencapainya? Tidak. Mengapa? Karena kita mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Orang seringkali berpikir bahwa mereka dapat menemukan kebahagiaan dalam uang, sehingga mereka mencoba sedapat-dapatnya untuk menjadi kaya. Bila mereka sudah kaya, apakah mereka bahagia? Jika kekayaan merupakan sumber kebahagiaan, orang-orang kaya pasti lebih bahagia daripada orang-orang miskin. Namun seringkali kita temukan, orang-orang biasa yang tidak terlalu berhasil, lebih bahagia daripada mereka yang kaya raya. Bahkan kita pernah mendengar beberapa milyuner yang mencoba bunuh diri. Mereka tidak mungkin terpikir untuk bunuh diri jika kekayaan merupakan sumber kebahagiaan. Jadi, kekayaan bukanlah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Demikianlah kekuasaan, nama baik ataupun kemashuran ataupun kekuasaannya, mereka tenggelam dalam keadaan bingung, resah. Ini menunjukkan bahwa nama baik ataupun kemashuran ataupun kekuasaan bukanlah sumber utama bagi kebahagiaan karena hal-hal tersebut juga dapat menjadi sumber bagi kerisauan dan karena ketidak-kekalan dapat mempengaruhinya. Sebagian orang berpikir bahwa seorang pasangan, seorang kekasih yang baik, dapat menjadi sumber kebahagiaan. Ini hanya mungkin untuk tahap tertentu saja namun tidak berlaku secara keseluruhan. Sebagian orang berpikir bahwa anak-anak merupakan sumber kebahagiaan namun bilamana mereka terpaksa harus berpisah karena sesuatu hal, yang cepat atau lambat pasti terjadi, mereka merasa tidak bahagia. Sebagian orang berpikir bahwa pacuan kuda dan pacuan anjing dapat menjadi sumber kebahagiaan, karenanya mereka bertaruh. Bahkan bilamana mereka menang, mereka hanya bahagia untuk waktu yang singkat. Sebagian orang berharap untuk menemukan kebahagiaan dalam minuman keras. Untuk sementara mereka bahagia, namun sesaat kemudian mereka kembali tidak bahagia seperti semula. Sumber-sumber luar bukanlah sumber kebahagiaan yang sebenarnya. Namun hal yang utama adalah pikiran. Pikiran yang dikendalikan, dikembangkan, adalah sumber kebahagiaan yang sejati.

Sekarang, bagaimana kita dapat mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah kita mendefinisikan kebahagiaan?
Kebahagiaan adalah suatu keadaan, suatu keadaan mental yang sesuai dengan pembawaan seseorang atau yang mengikuti pembawaan/sifat seseorang atau yang melengkapi pembawaan/sifat seseorang. Keadaan ini dapat diterapkan dalam tingkatan-tingkatan, seperti:

1. Material atau materialistik
2. Emosional
3. Intetektual, dan
4. Spiritual

Material atau materialistik
Untuk jelasnya, ambillah makanan yang lezat. Bilamana anda menikmati makanan yang lezat, jika anda adalah seseorang yang membanggakan pencapaian phisik anda, anda akan merasakan kebahagiaan yang bersifat phisik, material. Anda menikmati makanan anda bagi pengembangan phisik, kesehatan phisik. Anda merasakan kebahagiaan yang bersifat material dari makanan ini.

Emosional
Jika anda memakan sesuatu yang telah anda idam-idamkan, anda juga merasakan, "Saya menyukainya, karena makanan ini sangat baik dan sangat menyenangkan". Anda dapat menghargai suatu sajian karena sajian itu menyenangkan. Anda mencapai kebahagiaan darinya, melaluinya, dan kebahagiaan anda bersifat emosional. Anda tidak peduli apakah makanan tersebut baik untuk kekuatan ataupun kesehatan tetapi yang penting rasanya.

Intetektual
Jika anda cerdas, berakal-pikiran dan sedang menjalani suatu diet, anda mungkin merasakan kebahagiaan yang bersifat intelektual dan berkata, "Makanan ini sangat baik karena cocok bagi kesehatan saya". Jadi anda menilai makanan ini berdasarkan sifat-sifat anda yang tertentu.

Spiritual
Jika anda menemukan kebahagiaan yang bersifat spiritual dalam suatu sajian, anda akan mengatakan, "Makanan ini baik karena murni. Makanan ini baik bagi prinsip-prinsip moral, baik karena membantu bagi saya untuk bermeditasi". Jadi kebahagiaan anda berbeda, penilaian anda juga berbeda dengan yang lain. Bahkan makanan yang sama akan dihargai dan juga kebahagiaan yang dicapai merupakan suatu keadaan, suatu keadaan mental, yang cocok dan meliputi semua tingkatan. Namun keadaan seperti ini tidak selalu dapat dicapai jika kita tidak dapat mencapai kebahagiaan tertinggi yang meliputi semua tingkatan, yang mendekati adalah tingkatan-tingkatan tinggi berikutnya yang memberi kebahagiaan yang lebih besar daripada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah.

Kita menilai, bereaksi dan menanggapi sesuatu hal sesuai dengan sifat kita. Karenanya, penting bagi setiap kita untuk mengetahui jenis orang yang bagaimana kita ini. Karena kita bertindak dan bereaksi terhadap rangsangan luar sesuai dengan sifat kita, yaitu kita melihat segala sesuatu melalui kacamata berwarna yang kita miliki. Jika seseorang dianggap berpikiran luas dan tidak mudah berprasangka, kebanyakan karena kita melihat dan menilai sesuatu dengan kacamata berwarna yang kita buat untuk diri kita sendiri dan bukannya dengan milik orang lain yang dibuatnya untuk dirinya sendiri. Jadi bagaimana kita dapat mengetahui jenis orang yang bagaimana kita ini? Hanya dengan suatu pengamatan pribadi atas reaksi kita sendiri terrhadap rangsangan luar, reaksi kita terhadap apa yang terjadi, kita dapat mengetahui atau kita dapat menempatkan diri kita sendiri pada salah satu penggolongan.

Sekarang, pertama-tama, tingkatan material atau phisik.
Seseorang pada tingkatan ini dengan sifat materialistiknya, akan tertarik untuk mengumpulkan materi. Pertimbangan dan konsentrasinya adalah sekitar hal yang penting bagi dirinya. Orang yang materialistis ini sangat praktis dan menghendaki segala sesuatu, bahkan agama ataupun filsafat secara materialistik bersifat "praktis" dan tidak lebih dari itu. Segala sesuatu yang memerlukan pemikiran dan konsentrasi tidak akan menarik bagi mereka, mereka tidak akan tertarik pada agama atau filsafat apa pun. Minat mereka adalah pada kenikmatan phisik dan pandangan-pandangan yang memberikan suatu pencapaian material bagi mereka. Jadi tidak heran mengapa banyak orang yang tidak tertarik pada agama apa pun, karena agama, seperti yang anda ketahui, tidak secara langsung memberikan kekayaan material atau pun yang bersifat phisik pada seseorang. Berapa banyakkah yang anda duga di dunia ini yang kehilangan minat terhadap agama? Bagi kebanyakan orang pencapaian material adalah sangat penting. Jika kita mengatakan bahwa kita sibuk, kita sibuk mengumpulkan uang. Untuk apa? Untuk kesenangan, kebahagiaan, kenikmatan phisik, pakaian, makanan, rumah, dan lain-lain kenikmatan phisik. Jadi dapat kita sadari bahwa kebanyakan kita agak materialistis.

Yang berikutnya adalah tingkatan emosional.
Orang-orang yang berada pada tingkatan ini sangat perasa. Mereka terutama terlibat dengan rasa suka dan benci dan rasa senang dan tidak senang, sensasi. Mereka menilai segala sesuatu sesuai dengan emosi mereka, tidak peduli apakah penilaian mereka benar atau salah. Orang-orang yang emosionil ini tertarik pada agama yang berdasarkan bukti yang cocok dengan emosi mereka. Mereka merasa agama apa pun yang tidak memiliki upacara, sangat membosankan.

Tingkatan yang ketiga adalah intelektual.
Mereka yang berada pada tingkatan ini terutama tertarik dengan akal-pikiran, mempelajari segala sesuatu secara intelektual. Mereka juga menemukan kebahagiaan dalam bacaan-bacaan dan ilmu pengetahuan. Mereka mencapai kebahagiaan melalui pengejaran intelektual. Namun mereka, karena aktif secara mental, tidak aktif secara phisik. Mereka mengetahui banyak hal melalui apa yang mereka pelajari atau baca namun dalam praktik mereka tidak aktif.

Yang keempat adalah tingkatan spiritual atau moral.
Mereka yang berada pada tingkatan ini memberi bantuan dan pengertian yang penuh simpati, mereka menekankan pentingnya keadilan atau perlakuan yang adil/jujur. Mereka realistis. Jadi anda dapat melihat, setiap orang bertindak dan bereaksi terhadap segala sesuatu, memberikan kritik, merasa dan menilai sesuai dengan sifatnya yang tertentu; sesuai dengan tingkatannya yang tertentu. Mengetahui bagaimana dan mengapa kita berbeda dalam berpikir, merasa, menilai dan tampil dalam hidup ini, kita dapat memaklumi bilamana jenis orang yang berbeda bertindak sesuai dengan sifat mereka dan karenanya kita menanamkan rasa toleransi dan kesabaran terhadap orang-orang lain.

 Bilamana kita kurang maju secara spirituil maka kesenangan dan kebahagiaan material dan emosionallah yang kebanyakan kita alami. Sayangnya, kebanyakan kita tidak pernah berusaha keluar dari noda ini. Bahkan dalam tingkatan yang rendah ini mereka bangga terhadapnya. Mereka tidak mau keluar dari keadaan ini karena mereka berpikir bahwa mereka mencapai kebahagiaan bilamana mereka merasa memperoleh kesenangan duniawi. Mereka tidak menginginkan Nibbana yang nampaknya membosankan bagi mereka. Mengapa? Karena mereka kurang maju dalam bidang evolusi spiritual. Bilamana mereka maju dalam bidang spiritual, mereka juga dapat membaca buku-buku, ilmu pengetahuan dan filsafat. Sementara orang bahkan tidak dapat menghargai membaca dan belajar. Mereka berpikir bahwa hal tersebut merupakan pemborosan waktu dan bahwa membaca tidaklah bermanfaat.

Nibbana sendiri dapat dicapai dalam kehidupan ini.
Kebanyakan kita berpikir bahwa ini sangat sulit. Jika demikian, untuk apa kita memiliki 6 sifat Dhamma? Sang Buddha sendiri seringkali mengulangi 6 sifat Dhamma ini, salah satunya adalah Sanditthika —menunjukkan hasil yang segera. Bila hal ini benar, mengapa kita tidak dapat mencapai kebahagiaan yang sejati? Nibbana dapat dicapai setiap waktu (akalika). Tidak harus besok, atau bulan depan. Anda dapat mencapainya sesuai dengan usaha dan pengertian anda. Sementara orang pernah bertanya pada saya, apakah ada tujuan hidup. Saya katakan, "ya, ada!" Tujuan hidup adalah pertumbuhan, kemajuan dari kebodohan menuju kesadaran dari ketidak-bahagiaan menuju kebahagiaan. Sang Buddha sendiri berkali-kali menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk mencapai kesadaran agungnya. Seorang filsuf Yunani berkata bahwa ia datang ke bumi ini hanya untuk satu tujuan, yaitu menyempurnakan dirinya. Jadi pertumbuhan, perkembangan ini adalah mungkin sekarang dan di sini juga. Sebagaimana kita dapat mengembangkan otot kita dengan latihan terus-menerus, demikian juga pikiran kita bisa dikembangkan. Kita pasti dapat mencapai kesempumaan secara spiritual melalui pencapaian kebahagiaan dan menyadari Nibbana; secara intelektual melalui pencapaian ilmu pengetahuan; secara emosional melalui pengendalian dan pemanfaatan emosi secara benar dan secara phisik dengan latihan sehingga mencapai kesehatan yang prima dan juga melalui pengendalian tubuh.

Pada setiap tingkatan ada tindakan yang mempunyai sebab terdahulu yang menyebabkan hal itu terjadi sebagaimana juga akibat yang akan datang yang mengikutinya. Suatu tindakan merupakan perwujudan dari pikiran dan suatu keinginan akan sesuatu yang merangsang pikiran. Pada setiap tingkatan ada aksi dan reaksi yaitu sebab dan akibat. Jadi reaksi kita terhadap rangsangan luarlah yang harus kita kendalikan. Tindakan dan reaksi ini berfungsi pada semua tingkatan, pada tingkatan phisik dari pergerakan, tingkatan emosional dari perasaan dan tingkatan intelektual dari pikiran dan pada tingkatan spiritual dari pencapaian kesadaran. Pada setiap tingkatan ada sisi baik dan sisi buruknya, segi baik dan segi buruk. Seseorang, umpamanya, yang berada pada sisi materialistik yang buruk dapat berbuat jahat secara phisik, yang akan menimbulkan penderitaan. Ia menggunakan kekuatan materialnya, senjata materialnya. Dalam segi baik dari tingkatan material ia dapat berbuat baik secara phisik. Jadi seseorang akan melakukan tindakan phisik berbentuk menolong, dan ini akan membuatnya tumbuh dari tingkatan ini ke tingkatan yang lebih tinggi. Apa pun yang anda lakukan secara mental dan emosional tidaklah sempurna sampai anda melakukannya secara phisik.

Berikut ini ada sebuah cerita. Suatu ketika ada sebuah batu untuk mencuci. Sebuah batu pencuci tidak dikenal oleh orang-orang Barat. Sebuah batu pencuci adalah sebuah batu untuk mencuci yang digunakan oleh para pencuci pakaian di Timur. Batu ini berupa sebuah batu pipih di atas mana pakaian yang telah disabuni dicuci. Ada sebuah batu seperti ini di tepian sebuah aliran sungai di pinggir sebuah desa. Penduduk desa menggunakan batu ini untuk mencuci pakaian kotor mereka.

Suatu hari seseorang ahli ilmu bumi datang dan melihat bahwa batu ini mengandung banyak potongan-potongan batu berharga. Ia berpikir bahwa penduduk desa itu demikian bodohnya dan menggunakan batu yang sedemikian berharga hanya untuk mencuci. Jadi ia meyakinkan semua orang termasuk kepala desa untuk mengganti batu itu dengan suatu batu yang baru dan lebih baik.

Mereka semua setuju. Ia memberi mereka sebuah batu yang lebih lebar dan lebih bagus dan mengambil batu yang lama. Semua penduduk desa sangat gembira dan berterima kasih dan ia lebih berterima kasih lagi pada mereka untuk batu itu, yang darinya ia dapat memperoleh batu berharga yang bernilai tinggi.

Sang Buddha menasihati kita untuk seperti halnya ahli itu dan jangan seperti penduduk desa yang bodoh. Kita harus menggunakan tubuh kita tidak hanya untuk kesenangan namun juga untuk menolong, sehingga apakah kita mencarinya ataupun tidak, kita akan memiliki penampilan yang sempurna, kesehatan yang prima. Sang Bodhisatta bertindak ke mana saja dia pergi untuk menolong secara mental, phisik, bahkan dalam kehidupannya yang terakhir sebagai seorang Buddha.

Ingatkah anda cerita tentang seorang bhikkhu yang sakit yang terjatuh ke atas kotorannya sendiri? Tidak ada seorang pun yang muncul untuk menolongnya. Sang Buddha tanpa ragu-ragu mengambil pakaian kotor yang penuh kotoran dari bhikkhu tersebut dan mencucinya sendiri. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang direndahkan martabatnya.

Karena segala sesuatu di dunia ini merupakan subjek dari ketidak-kekalan tidak mungkin ada kebahagiaan sejati dan yang selama-lamanya dalam benda-benda material di dunia ini. Ini dapat merupakan penampilan yang pesimis bilamana tidak ada jalan menuju kebahagiaan yang sejati yang mengatasi material yang menjadikannya penampilan yang realistis dan optimis.

Kebudayaan adalah jawabnya, kebudayaan tidak perlu harus tubuhnya namun yang penting pikirannya dan lebih lanjut lagi sifat moral yang lebih tinggi, untuk mencapai Nibbana.

Sumber:
Buddha Cakkhu No.07/VIII/1987; Yayasan Dhammadipa Arama


-oOo-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar