Sabtu, Desember 08, 2012

Fanatisme Buta


FANATISME BUTA
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi

TIDAK SELAYAKNYA SESEORANG BERKESIMPULAN BAHWA :
“ HANYA INI YANG BENAR, YANG LAINNYA ADALAH SALAH”
(Sang Buddha)

Fanatik adalah suatu sikap batin (mentalitas) terhadap suatu pandangan atau kepercayaan (keyakinan), agama, sosial, politik, ekonomi, pemimpin dan lain-lain yang dianut secara mendalam.

Sayangnya, banyak orang yang salah dalam menerapkan kefanatikan itu, sehingga menimbulkan sikap bahwa keyakinannyalah yang paling benar, sedangkan yang lainnya adalah salah (Fanatisme buta). Sikap batin yang demikian ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari egoisme sempit yang hanya melihat sesuatu dari satu sudut pandangnya saja tanpa melihat akibat negatif yang ditimbulkannya yang biasanya cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius.

Ciri-ciri orang yang ‘fanatik secara membuta (Fanatisme) ini dapat dilihat dari bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sepaham dengan kelompok/golongannya sendiri, dan membenci (antipati) terhadap orang-orang/kelompok yang berbeda pandangan, baik dalam kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi.

Fanatisme biasanya tidak rationil, hal ini disebabkan oleh dorongan perasaan yang sangat kuat terhadap apa yang diyakininya itu, akibatnya, seseorang kurang menggunakan akal budinya sehingga ia tidak dapat menerima paham yang lain walaupun sesungguhnya paham yang lain lebih benar daripada paham yang diyakininya itu.  Fanatisme semacam inilah merupakan akar kejahatan yang dapat menimbulkan perilaku agresif dan dapat menyulut terjadinya konflik serta menciderai kehidupan umat beragama, bahkan menimbulkan peperangan hanya karena satu alasan perbedaan suatu pandangan tertentu dan kurangnya toleransi untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial.

Secara psikologis, seseorang yang ‘fanatik secara membuta’ biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak paham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah.


Bagaimana pandangan agama Buddha terhadap fanatisme yang demikian itu ?

Mari kita simak ringkasan dialog antara Sang Buddha dengan seorang murid brahmana bernama Kāpahika. Seorang pemuda yang mahir dan menguasai Tiga Veda  dan mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. (dari MN 95: Cakī Sutta; II 168-77) sbb :

Kapathika : “Guru Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmana kuno yang diturunkan melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

Sang Buddha menjawab dengan pertanyaan kembali kepada Kapathika sbb :

Sang Buddha : “Apakah ada di antara para brahmana yang mengatakan bahwa: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”

Kapathika :  “Tidak, guru Gotama”

Sang Buddha  : “ Apakah ada di antara seorang guru atau Maha guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan bahwa: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”

Kapathika :  “Tidak, guru Gotama”

Sang Buddha : “ Apakah ada diantara para petapa brahmana masa lampau yang mengatakan bahwa : ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”

Kapathika :  “Tidak, guru Gotama”


Selanjutnya Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan sbb :

“ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang lainnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir juga tidak melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Bagaimana menurutmu, Bhāradvāja, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti tidak berdasar?”

“Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan, Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.” Jawab Kapathika.

Sang Buddha menjelaskan bahwa Ada lima hal, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda ( bisa benar atau salah), yaitu :

·         Keyakinan (Sadha)
·         Persetujuan (Ruci)
·         Tradisi lisan (Anussava)
·         Pertimbangan (Akaparivitakka)
·         Penerimaan pandangan melalui perenungan (Ditthinijjhanakkhanti) 

 Penjelasan :

Keyakinan :
Karena Keyakinan itu umumnya berdasarkan pada Perasaan, maka bisa saja Keyakinan itu diterima sebagai kebenaran, walaupun ada kemungkinan bahwa apa yang diyakininya itu adalah sesuatu yang kosong, hampa, dan salah.

Namun ada kemungkinan bahwa Keyakinan itu tidak diterima , walaupun hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.

Persetujuan :
Karena Persetujuan itu pada umumnya adalah merupakan Kesepakatan dan berdasarkan pada Perasaan, maka sesuatu itu mungkin sepenuhnya disetujui, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah sesuatu yang kosong, hampa, dan salah.

Namun ada kemungkinan bahwa Persetujuan itu tidak diterima sepenuhnya, walaupun hal itu adalah merupakan fakta, benar, dan tidak salah.

Tradisi Lisan :
Tradisi lisan adalah merupakan adat kebiasaan turun-temurun yang beranggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar, maka bisa saja Tradisi lisan itu diterima sebagai kebenaran, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah sesuatu yang kosong, hampa, dan salah.

Namun ada kemungkinan bahwa Tradisi Lisan itu tidak diterima sepenuhnya, walaupun hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.

Pertimbangan :
Pada umumnya pertimbangan adalah merupakan penalaran secara rasional atau kognitif (berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan), maka bisa saja Pertimbangan itu diterima sebagai kebenaran, walaupun ada kemungkinan hal itu adalah sesuatu yang kosong, hampa, dan salah.

Namun ada kemungkinan bahwa Pertimbangan  itu tidak diterima sepenuhnya, walaupun hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.

Penerimaan pandangan melalui perenungan :
Karena Perenungan ini bersifat individu dan merupakan sepuluh landasan yang tidak dapat diterima untuk sebuah kepercayaan*).Maka bisa saja Penerimaan pandangan melalui Perenungan itu diterima sebagai kebenaran.

Tetapi ada kemungkinan bahwa hal itu tidak direnungkan dengan baik, walaupun hal itu merupakan fakta, benar, dan tidak salah.
.
Didalam kondisi yang demikian itu, adalah tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti bahwa: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’” (karena ia belum secara pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya menerimanya atas dasar yang tidak dapat menghasilkan kepastian).


Catatan :

*)Sepuluh landasan yang tidak dapat diterima untuk sebuah kepercayaan, yaitu :

      * Empat di antaranya berhubungan dengan pembentukan otoritas kitab suci :
  1.    Tradisi lisan,
  2.    Ajaran turun-temurun,
  3.    Kabar angin,
  4.    Kumpulan teks

* Empat pada landasan rasional :
  5.    Logika,
  6.    Penalaran,
  7.    Pertimbangan,
  8.    Penerimaan pandangan setelah merenungkan.

Dua pada orang-orang yang memiliki otoritas :
  9.    Pembabar-pembabar yang mengesankan
 10.  Guru-guru yang terhormat.


( Cuplikan dari : Majjhima Nikaya 95: Cakī Sutta; II 168-77 )

___________________________________

Kesimpulan :

Dengan demikian jelaslah bahwa sesungguhnya banyak orang yang mempunyai “keyakinan” semata, meskipun sebenarnya mereka tidak mengerti apa yang diyakininya itu. Seorang yang fanatik ukurannya adalah pada praktek, yaitu seberapa besar ia menjalankan yang telah diajarkan berdasarkan keyakinannya. Dan sering kita dapati bahwa seseorang yang yakin belum tentu mengerti, orang yang mengerti pun juga belum tentu yakin.

Jadi adalah sangat bijaksana jika dalam hal menyikapi soal kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, seseorang berusaha menghindari untuk mengambil suatu kesimpulan yang didasari oleh kefanatikannya secara membuta itu dengan mengatakan : 
“ HANYA INI YANG BENAR, YANG LAINNYA ADALAH SALAH”.

Sebab seperti yang telah dikatakan oleh Sang Buddha tersebut diatas, bahwa dalam hal pembuktian suatu kebenaran apapun yang hanya didasari oleh Keyakinan, Persetujuan,Tradisi lisan, Pertimbangan dan Penerimaan pandangan melalui perenungan , semuanya bisa benar atau salah.

Hanya setelah seseorang melakukan penyelidikan dengan usaha yang tekun dan melalui pengulangan pengembangan faktor-faktor yang mengarah menuju penemuan kebenaran, serta telah terbebas dari pengaruh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin maka seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan. Dan ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi – Nibbana (paramasacca) .

-oOo-




2 komentar: