Sabtu, Desember 29, 2012

Kisah Seekor Kerbau


KISAH SEEKOR KERBAU



Sebuah pelajaran tentang kesabaran terhadap yang lemah.

Pada suatu ketika Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai seekor kerbau liar. Tabiat kerbau liar itu jauh dari ramah tamah, mukanya selalu marah dan matanya bengis. Demikian juga halnya dengan kerbau kita, penjelmaan dari Sang Bodhisattva. Hanya bedanya ialah, bahwa di dalam hati ia sebenarnya tidak seperti apa yang terlihat di luarnya. Dari luar kelihatan menakutkan dan bengis, tetapi di dalam ia lemah lembut hatinya. Watak demikian tidak dapat dikatakan watak kerbau biasa.

Memang kerbau kita itu pemurah lagi lemah lembut perasaannya. Itulah sifat-sifat luhur yang senantiasa diutamakannya. Tidak ada seekor binatang pun yang pernah disakitinya. Sebaliknya ia sendiri tidak pernah diganggu oleh binatang-binatang yang lain diam di hutan itu. Meskipun kelihatan galak dan bengis, mereka tidak takut kepadanya, sebab mereka tahu bahwa ia peramah dan halus perasaannya. Tetapi ada kalanya orang menyalah-gunakan kebaikan hati orang lain.

Dan demikianlah terjadi atas kerbau kita itu. Di dalam hutan itu juga tinggal seekor kera kecil. Pada umumnya kera suka menggoda binatang-binatang yang lain. Tetapi kera kecil ini memang terlalu nakal. Terhadap binatang-binatang yang lain ia tak berani, sebab ia tahu, bahwa akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tetapi terhadap kerbau yang baik hati itu ia berani benar, dan caranya mengusik kadang-kadang melampaui batas. Sedikit godaan tidaklah mengapa, setiap orang dapat menerimanya. Tetapi godaan kera kecil terhadap kerbau itu memang sudah di luar batas. Ia mengerti betul kerbau itu tidak akan membalas sedikit pun.

Maka panjang hari terus-menerus kerbau itu digodanya, lebih dari itu, ia berusaha supaya kerbau itu timbul marahnya. Suatu ketika, ia sekonyong-konyong melompat ke atas punggungnya pada waktu kerbau itu sedang enak-enaknya tidur-tiduran. Ia juga melompat-lompat dari tanduk kanan ke tanduk kiri berkali-kali, sehingga kerbau itu pusing kepalanya. Suatu waktu ia duduk di kepala kerbau dan menutup matanya, justru pada saat kerbau itu di tepi sungai hendak melangkah ke dalam air, sehingga jatuh tersungkur.

Kalian dapat memahami, bahwa perbuatan-perbuatan kera itu bukan lagi usikan biasa dan godaan yang sangat menyakitkan hati itu terus berlangsung setiap hari. Namun kerbau itu tidak pernah marah dan hanya tinggal diam terhadap apa yang dilakukan kera itu atas dirinya.

Pada suatu hari kerbau itu sedang berjalan-jalan makan angin, dan kera nakal itu duduk dipunggungnya. Dengan sebilah tongkat dipukulnya kerbau itu berkali-kali, agar jalannya lebih cepat lagi. Ketika kera itu sedang memukul-mukul tongkatnya, datanglah dayang hutan. Ia sendiri sering mendapat gangguan dari kera nakal itu. Dalam hatinya ia merasa geram terhadap kera tersebut. Dan pada waktu ia melihat bagaimana kera itu mempermainkan kerbau yang baik hati, hampir-hampir ia tak dapat menguasai dirinya. Ia menghampiri kerbau dan bertanya apa sebab ia diam saja dipemainkan si kera nakal itu.

Menurut pendapatnya, sudah selayaknya kalau kerbau itu memberi pelajaran yang keras kepada penggoda kecil itu. Mengapa tidak dicincang saja dengan tanduknya? Atau dijitak saja dengan kakinya hingga mati?

Kerbau memandang dayang hutan dengan pandangan yang menunjukkan penyesalan dan menjawab, “Mengapakah kamu berkata demikian? Pertama-tama saya sedang melatih diri mengutamakan kesabaran dan sangat berterima-kasih kepada kera ini, karena ia memberi kesempatan kepada saya untuk memperkuat rasa kesabaran saya. Kedua, adalah mudah sekali untuk menyakiti atau membunuh makhluk lain apabila kita tahu, bahwa kita sendiri lebih kuat daripadanya. Benarkah atau tidak perkataan saya itu? Lagipula, lebih baik si kera ini menggoda saya daripada menggoda binatang-binatang lain yang jelas naik darah dan mungkin akan mencelakakannya. Barangkali pada suatu hari ia akan insaf dan mengerti, bahwa ia telah berbuat yang tidak benar.”

Itulah yang diharap-harapkan dengan sangat oleh kerbau itu, dan selama kera itu belum berubah sifatnya, selama itu pula ia terus menjalankan Dharma kesabarannya.

Dayang hutan menggeleng-geleng kepalanya. Ia berpendapat, bahwa pikiran kerbau itu baik juga, tetapi ia tidak dapat menyetujui seluruhnya. Segala sesuatu harus ada batasnya, demikian pikirnya. Ia tidak tahu, bahwa kerbau itu adalah Sang Bodhisattva sendiri. Sesudah memberi teguran yang keras kepada kera supaya memperbaiki kelakuannya, maka dayang hutan meneruskan perjalanannya.

-oOo-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar